Friday, October 29, 2010

CINTA yang AGUNG
Adalah ketika kamu menitikkan air mata dan masih peduli terhadapnya
Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia
Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum sembari berkata, "Aku turut berbahagia untukmu."

Apabila cinta tidak berhasil, bebaskan dirimu.
Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnya dan terbang ke alam bebas lagi.
Ingatlah,
bahwa kamu mungkin menemukan cinta dan kehilangannya.
Tapi ketika cinta itu mati,
kamu tidak perlu mati bersamanya.

Orang terkuat bukan mereka yang selalu menang,
melainkan mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh.
Kahlil Gibran

Monday, October 11, 2010

Jogja, I'm Coming!!!! (4)

Serra terbelalak memandang barang yang dipegang Ale.
"Lo nemu di mana?!?!?" jerit Serra histeris bercampur bahagia.
"Di...depan pintu," jawab Ale polos.
"Di depan pintu?" ulang Lisa bingung. "Coba lo pikir, kalo ada seseorang yang nemu dompet ini, katakanlah di kereta, terus gimana dia bisa tau kita nginep di hotel ini?"
Ale mengernyitkan dahinya. "Mana gue tau. Cenayang kali."
Lisa memandang Ale tajam. "Well, ini aneh."
"Banget," sela Dinda yang sejak tadi diam.
"Yah, memang aneh. Tapi kan yang penting..."
"Le, ini bukan salah satu keisengan elo, kan?" tanya Lisa mengintimidasi.
Ale bengong sebentar. "Ya... ya jelas enggak lah. Buat apa gue nyolong dompetnya Serra, trus duitnya gak gue ambil?..."
"Lis, kalo ini Ale yang iseng, pasti dompetnya dibalikin pas kita udah mau pulang. Lo kan tau Ale kalo iseng gak nanggung-nanggung," ceplos Dinda menengahi.
Lisa berfikir sejenak. "Yah... iya juga sih."
"Jadi, Ser, gak ada yang ilang kan?" tanya Ale.
"Hm..." Serra menatap Ale. "Ada."
"Ada?!" seru Lisa heboh. "Berapa yang ilang?!"
Serra balas memandang Lisa. Ia lalu mengeluarkan selembar foto yang sudah terpotong seperempat di bagian pojok kiri atas.
"Foto lo."
"WHAT?! FOTO GUE?!"
"Iya, ini foto yang waktu kita berempat foto box di MAG, foto itu gue taro di dompet, dan sekarang, muka lo ilang."
"Kenapa.. mesti..."
Ale menyela. "Jangan-jangan ada psycho ngintilin kita. Hiiiii..." Ale memandang berkeliling takut-takut seakan-akan merasa ada seseorang yang sedang menonton pembicaraan mereka, bersembunyi di balik tirai atau di bawah tempat tidur.
"Mungkin..." Dinda menambahkan. "Eno? Yang bilang kita contek-contekan itu loh," wajah Dinda berubah jutek.
"OH!" Ale berseru. "Mungkin gak kali Si Eno itu psycho?"
"Mungkin banget," sambut Lisa.
Ale menaikkan sebelah alisnya. Ia lalu memotong, "kita di sini mau liburan. Udahlah, kalopun si Eno-Psycho itu yang nyolong muka Lisa, kita cuekin aja dia. Anggep aja kita gak kenal sama dia. Jangan sampe dia ngerusak liburan kita. Anggep aja cuma kita berempat yang ada di kota ini. Setuju?"
"Setuju."
"Stuja!"
"Setubuh..."
Serra memandang foto yang tidak utuh itu lagi. "Guys. Fotobox lagi, ya?"


Pagi pertama yang cerah di Jogja. Ale terbangun mendengar suara pintu depan dibuka dan seseorang melangkah masuk ke dalam ruangan. Lalu pintu kamar terbuka. Serra --sepagi itu-- sudah mengenakan pakaian lengkap, sambil memutar-mutar sebuah kunci di tangannya.
"Ser, lo dari mana pagi pagi buta kaya gini?" tanya Ale sambil berusaha membuka matanya.
"Le, plis deh. Ini udah jam 9. Bukan pagi lagi namanya."
"Pagi, menurut gue dan Lisa."
"Apapun itu. Gue abis dari rumah om gue, ngambil mobil."
"Oh, ya baguslah. Sekarang gue mau tidur lagi."
"Le, ini Jogja, lo biasanya paling gak mau nyia-nyiain kesempatan lo di Jogja."
Ale lantas membuka matanya. "Oh. Ini Jogja ya? Astaga gue lupa. Oke," Ale melompat dari tempat tidur. "Mau kemana kita hari ini?"
"Yang jelas kita sarapan dulu. Lo mau apa?"
"Pesenan lo plus pesenan Dinda, dikali dua."
"Oke. Dinda katanya mau cah kangkung, dan gue pepes ikan."
"Oh oke gue ganti. Gue alergi sama yang nama sayur-sayuran dan ikan-ikanan."
"Ini sayur dan ikan beneran, bukan sayur-sayuran dan ikan-ikanan."
"Apalah itu."
Ale berjalan ke meja kecil di seberang tempat tidur, mengambil secarik kertas laminating yang berisi menu-menu di hotel itu.
"Sereal Koko-Crunch, roti bakar cokelat-kacang-keju, susu cokelat dingin, sama jus semangkanya."
"...Le..."
"Apa?"
"Banyak banget."
"Ser, gue masih dalam masa pertumbuhan, butuh banyak gizi biar cepet gede."
"Hem, ya, whatever. Ng.. Lisa?"
"Lisa masih tidur. Lo aja yang bangunin, gue males," Ale ngeloyor ke luar kamar, menyusul Dinda yang sedang nontn tv sendirian.


Ale memandang takjub bentangan pemandangan laut di hadapannya. Ah. Indahnya Indonesia.
Ale segera melepaskan sendalnya, lalu berlari-lari menyongsong ombak yang datang bergulung-gulung.
Dinda, Serra, dan Lisa saling berpandangan. Tanpa dikomando, mereka menyusul Ale bermain-main air laut. Jiwa kekanakan mereka mencuat keluar saat itu juga. Tak lupa sesekali Ale menjepretkan SLR water ressistant Lisa ke sekeliling. Mereka main air sampai puas.
Pukul setengah tiga sore, mereka berempat berjalan tertatih menuju mobil. Pakaian mereka semuanya basah dan berlumur pasir pantai. Mereka lalu berganti baju, lalu menuju satu warung kecil di sana, dan menyantap makan siang mereka yang terlambat. Seorang ibu-ibu berpakaian lusuh menghampiri mereka. Ia menawarkan berbagai macam kerajinan tangan dengan harga murah. Ale dan Serra hanya menonton sementara Lisa dan Dinda berebut memilih-milih barang kerajinan warna warni tersebut.
Sekitar pukul empat sore, mereka berempat berjalan-jalan di pasar kecil di area Parangtritis. Pasar itu menawarkan berbagai jenis --lagi-lagi-- kerajinan tangan yang bahan bakunya terdapat di sekitar pantai. Ada jam dinding yang dihiasi butiran pasir dan kerang, ada juga sekeranjang kerang yang bisa mempercantik meja tamu, dan sebagainya. Ale, Lisa, Serra, dan Dinda berbelanja sampai puas.
Sekitar pukul lima, Ale memaksa kawan-kawannya menyudahi acara belanja. Ale menarik mereka ke tepi pantai lagi. Pantai sudah sepi dari orang banyak yang tadi asyik berenang. Laut sudah pasang. Tapi kini banyak orang yang duduk di atas pasir di tepi pantai, menikmati pemandangan.
Serra takjub, terlebih Lisa dan Dinda.
"Here it is. Sunset ala Parangtritis," ucap Ale pelan.
Perlahan tapi pasti, matahari yang tampak bulat sempurna berwarna kuning kemerahan bergerak turun, seolah tenggelam ke dasar laut yang menggelora. Ombak pun tampak cantik, berwarna perak-keemasan tertimpa sinar matahari sore. Suasana terasa damai.
"Kasian, ya, mereka, eksekutif di tengah kota, yang kerjanya di kantor terus, ngurusin kerjaan, tapi gak pernah ngeliat pemandangan kayak gini," gumam Lisa.
"Rugi. Gak bisa nikmatin hidup," tambah Dinda.
"Mubazir. Hidup cuma sekali, malah dipake buat kerja terus terusan, gak sempet ngeliat bukti Keagungan Tuhan yang nyata," Serra ikut menimpali.
Hanya Ale yang diam. Ia sungguh menikmati momen ini. Mendengar celotehan ketiga sahabatnya, duduk atas di pasir parangtritis yang hangat, menghirup aroma laut jogja yang terasa lain di hidungnya, dan memandangi pemandangan yang indah, yaitu sang mentari yang hendak turun ke peraduannya. Saat itu, Ale merasa menjadi orang paling beruntung yang ada di dunia ini.