Saturday, December 14, 2013

Hala High School

gue udah ninggalin Jakarta berbulan-bulan, dan sampe sekarang pikiran gue masih ngga bisa lepas sama SMA. gue tau, semua orang juga menganggap SMA itu selalu jadi masa-masa terindah. semua orang bilang "kamu beruntung masih SMA". semua orang berharap kembali ke masa-masa SMA. tapi ngga semua orang cinta sama SMAnya.
gue? jujur gue bangga sama SMA gue. di manapun gue, gue selalu ngebanggain. gue cinta mati sama almamater. sebagai pengurus OSIS dulu gue tau busuk-busuknya sekolah, tapi itu sama sekali ngga bikin gue ilfil. kadang gue mikir, kenapa gue bisa segininya sama SMA gue, tapi nggak pernah segininya sama SD dan SMP?
maksudnya begini. waktu lulus SD gue merasa akan sangat kehilangan teman-teman SD gue. tapi ternyata, sebulan dua bulan gue masuk SMP, gue udah bisa merasa kerasan dan ngga selalu kebayang masa-masa SD. begitu juga sama SMP. gue merasa masa SMP ngga ada matinya. tapi ternyata kalah kok sama perasaan gue di SMA. tapi sekarang, gue masih selalu kebayang sama SMA. gue bukannya ngga kerasan sama tempat gue sekarang. THANK GOD I'M A PART OF COMMUNICATION PART OF SOLIDARITY AND FRATERNITY. gue dapet kok temen-temen deket yang super baik asik dan lucu serta beragam dan membanggakan juga keren membahana. tapi tetep ngga ngalahin bangganya gue sama SMA gue. mungkin gue agak berlebihan karena gue sering banget ngebangga-banggain SMA gue di depan temen-temen baru gue. tapi ya memang, sekolah ini berhasil menumbuhkan rasa cinta pada almamater. gue bangga sama senior gue, gue sayang sama adek kelas gue, no matter what (walaupun memang kadang gue maki-maki mereka kalo mereka ngeselin)
dan pemikiran gue sampai pada satu kesimpulan:
Trip Observasi.

gue tau kok ini capek, ini sulit. gue tau kok rasanya malu ke sekolah dikuncir dua belah tengah. gue tau kok rasanya pulang tengah malem karena ribetnya bikin nametag segede gaban yang ditempelin beras satu-satu, ditempelin bungkus kopi, bentuknya sulit ngga karuan. gue tau kok rasanya makan hati disuruh jaga nametag dan vendel dan tongkat. gue tau betapa capeknya bikin penelitian dan charta. gue tau betapa gue mau nangis berusaha keras untuk memahami dan menjawab argumen dari kakak POnya. gue tau gimana takutnya gue dipelototin dan dibentak-bentak sama kakaknya. gue tau betapa senengnya waktu ada guru yang ngebelain kami, bikin nametag jadi tidak sesulit seharusnya. gue tau kakak PO betapa mereka seperti peran antagonis dalam hidup yang harusnya dibenci dan dihindari semua orang. gue tau persis rasanya karena gue pernah ngerasain. 
awalnya gue mikir, apa sih maknanya? seru-seruan? iya seru, iya asik, iya baik bantu desa.
tapi setelah itu gue tau apa yang ditanamin ke kami. kami cinta angkatan kami, dan kami cinta sekolah kami.
kami diajarin basis tahan banting. kami diajarin basis bicara. kami diajarin basis radikal. kami diajarin caranya mempertahankan harga diri saat kami dianggap sampah. dan yang terpenting, kami diajarin apa itu solidaritas. gue tau kakak-kakaknya bukan cuma mau ngerjain kami, bikin kami susah, memelonco kami. gue tau bahwa ternyata mereka punya tanggung jawab moral untuk membentuk suatu angkatan. apapun yang mereka lakukan ke kami, setiap detilnya, sekecil apapun, ada implementasinya bagi angkatan kami untuk menjadi yang lebih baik.

tapi waktu tetap berjalan, dan tradisi apapun itu, jika tidak dipegang sangat erat, perlahan akan luntur dengan sendirinya. dan ini yang gue rasain.
berawal dari TO yang gue pegang. desa yang didatangi itu desa bagus, malah cenderung kota. apa? melatih mereka manja? menghindarkan mereka dari kesederhanaan?
berikutnya sesi lapangan ditiadakan. mana bisa mereka tahan banting?
berikutnya nametag diprint. mau TO atau mau seminar? lalu orang tua boleh ikut.
bahkan kami sudah kehabisan kata untuk berkomentar.

apa sih, ruginya? perihal orang tua yang protektif, yah gue memang belum pernah jadi orang tua, tapi yang gue tau, orang tue gue bisa ngasih kepercayaan ke gue, kalo gue bisa melakukan apa saja. toh anak-anak ini ngga bakalan sekarat hanya karena ikutan TO dan segala embel-embelnya. toh mereka sudah besar. anak-anak lambat laun akan tumbuh besar, mereka sudah SMA. usia mereka sudah cukup untuk diberi kepercayaan agak sedikit lebih banyak dari tahun sebelumnya. 

bagi gue cuma satu kata: nonsens.

mungkin salah gue masih ngurusin hal ini. gue bukan lagi bagian dari sekolah ini. gue cuma salah satu alumni yang belum ada setahun lulus, yang cinta sama sekolahnya, dan berusaha sedikit mengkritisi, berusaha menyadarkan orang-orang, cuma dengan tujuan membuat sekolah ini tidak kehilangan jati diri dan citranya.