Study tour,
saya kira hanya ada di bangku TK hingga SMA. Ternyata saya juga merasakannya di
bangku kuliah. Hanya saja namanya berbeda, lebih keren dan terdengar intelek: field trip. Trip satu hari ke kota
tetangga ini hanya dialami di semester kedua Jurusan Ilmu Komunikasi UGM,
sebagai pemenuhan mata kuliah Sejarah Sosial dan Media. Tujuan kami adalah ke
dua tempat menarik di kota Solo, Jawa Tengah, yaitu studio rekaman Lokananta
dan Monumen Pers Nasional.
Mbak Dosen Mutia meminta kami semua datang lebih awal, yaitu pukul enam pagi. Angka yang begitu
horor bagi saya, karena hari sebelumnya saya baru saja pulang dari travelling
akhir pekan ke Bandung, Jawa Barat. Masih dalam tahap pemulihan tenaga dan
finansial, saya harus menyeret paksa tubuh saya ke kampus pagi-pagi buta.
Menunggu beberapa jam di San Siro, sekitar pukul delapan baru kami naik ke atas
bus dan memulai perjalanan kami. Bus
yang kami tumpangi ternyata bus yang bagus dan nyaman, senang rasanya.
ruang rekaman |
Sekitar
pukul setengah sepuluh, kami tiba di studio rekaman Lokananta. Dari luar tempat
ini terlihat usang dan gersang, membuat saya menerka-nerka hal apakah yang
membuat tempat ini menjadi destinasi field
trip tiap tahun. Kami dibawa ke suatu ruangan luas dengan dinding dan
plafon yang begitu unik. Ternyata tempat itu juga difungsikan untuk rekaman dan dibuat sedemikian rupa berdasarkan sistem suara. Beberapa pihak lokananta juga ada di sana, memberi
sambutan dan hal-hal pengantar mengenai tempat
Hal menarik
yang dapat saya simpulkan adalah bahwa Lokananta adalah studio rekaman pertama
di Indonesia. Lokananta memiliki teknologi yang canggih dari dulu hingga
sekarang. Pada mulanya, Lokananta didirikan dengan visi dan misi budaya, yaitu
mempersatukan kebudayaan-kebudayaan tiap daerah di Indonesia, terutama
lagu-lagu daerah. Musisi-musisi budaya juga banyak berkembang berkat keberadaan
Lokananta, seperti pesinden legendaris, Waljinah dan Gesang, pencipta lagu
Bengawan Solo yang terkenal sampai ke mancanegara. Seiring berjalannya waktu,
musisi-musisi modern juga banyak yang mengadakan rekaman di Lokananta, sebut
saja Glenn Fredly, Shaggydog, dan Efek Rumah Kaca.
pemutar piringan hitam |
Selain itu,
kami juga mengunjungi ruangan yang menyerupai museum, karena berisi
barang-barang tua dan sudah tidak berfungsi lagi, seperti alat pengganda kaset,
pemutar piringan hitam, serta beberapa alat lain yang tidak berhasil saya
identifikasi kegunaannya. Terakhir kami mengunjungi ruangan re-mastering,
sebuah ruangan yang nyaman dan berfungsi untuk merekam ulang suara dari
sumber-sumber konvensional seperti piringan hitam dan pita ke dalam bentuk
digital. Kami diberi keleluasaan untuk masuk dan ‘mengacak-acak’ ruangan ini,
padahal ruangan ini biasanya terlarang selain untuk staf. Di sana kami
diperdengarkan lagu Glenn Fredly, dengan suara yang begitu jernih dan halus.
Ruang re-mastering tersambung dengan ruangan penyimpanan yang menyimpan rapi
beratus-ratus gulungan pita, dan salah satunya adalah rekaman pidato proklamasi
Soekarno.
Setelah
puas berkeliling, kami berfoto di depan pintu utama Lokananta sambil menikmati
serabi Solo yang begitu enak. Jujur saja, saya baru kali ini menikmati serabi
yang sedemikian enak. Kami kemudian melanjutkan perjalanan dan berhenti di
Restoran Taman Sari untuk istirahat, salat, dan makan siang.
Destinasi
kedua, Monumen Pers Nasional. Saya sangat antusias datang ke gedung ini karena
saya menaruh minat di bidang jurnalistik. Sebuah gedung besar dengan ornamen
candi di atasnya, dan dihiasi naga dengan posisi terlentang di sisi-sisi
tangga, terkesan artistik. Pertama, kami disambut dengan video profil Monumen
Pers Nasional, sebuah video yang menjelaskan mengenai sejarah, perkembangan,
dan kegunaan bangunan ini. Kami masing-masing juga mendapatkan booklet yang berisi keterangan mengenai barang-barang
bersejarah yang berhubungan dengan jurnalistik.
Gedung
Monumen Pers Nasional terdiri dari lima lantai, dan masing-masing lantai berisi
ruangan-ruangan tertentu. Gedung ini menyimpan arsip-arsip media cetak,
terutama surat kabar dan majalah. Monumen Pers Nasional memiliki surat
kabar-surat kabar tua yang sudah menguning bahkan edisi-edisi pertama dari
berbagai surat kabar. Koleksi surat kabar tertua milik Monumen Pers Nasional
adalah surat kabar Panorama, terbit pada 23 Mei 1917, hampir satu abad yang
lalu. Monumen Pers Nasional juga menyimpan edisi-edisi bersejarah surat kabar, antara
lain surat kabar yang memberitakan tentang meninggalnya mantan presiden
Soekarno, berita peristiwa proklamasi Indonesia, bahkan surat kabar yang
merupakan propaganda Jepang di Indonesia. Surat-surat yang fisiknya sudah tua
ini difoto dengan resolusi tinggi dan bisa dibaca secara digital, karena saking
tuanya sudah tidak aman lagi jika dipamerkan pada umum secara fisik.
Monumen
Pers Nasional juga memiliki enam diorama yang menggambarkan perkembangan media
dari masa ke masa. Tak hanya itu, ada juga delapan patung dada yang berada di
kanan dan kiri ruang utama, merupakan patung dari tokoh-tokoh perintis pers di
Indonesia.
Selama ini
saya selalu menebak-nebak, apa yang harus saya lakukan dan ke mana saya harus
pergi jika saya ingin mengadakan penelitian, katakanlah membuat skripsi, yang
mengharuskan saya mencari info di surat kabar hingga beberapa tahun ke
belakang. Perpustakaan biasa hanya menyimpan surat kabar dalam jangka waktu
tiga bulan, atau paling lama satu tahun. Maka dari itu saya gembira dan tidak
menyesal datang ke sini, karena saya mengetahui bahwa pengunjung bisa dengan
bebas meminjam surat kabar modern edisi lama, seperti lima atau sepuluh tahun
yang lalu. Monumen Pers Nasional sangat memfasilitasi hal ini, dan bagi saya
merupakan tempat yang tepat.
Satu hari
perjalanan ke Solo hari itu begitu luar biasa bagi saya. Saya selalu suka
pelajaran yang diadakan di luar kelas, karena pasti mengasyikkan dan tidak
membosankan. Terlebih jika diadakan gratis dan berlimpah makanan seperti ini.