Oleh: Amir
Effendi Siregar
Gugatan
tentang profesionalisme dan independensi pers tentang kepemilikan kini sering
dilayangkan oleh para petinggi Negara. Namun, banyak pihak yang juga menujukan gugatan tersebut kepada negara sebagai regulator utama. Jumlah media di Indonesia kurang banyak
dan terlalu terkonsentrasi pada satu orang atau badan pemilik, serta hanya
terpusat di provinsi-provinsi besar. Media belum tersebar secara merata di
Indonesia, karena kenyataannya masih banyak wilayah yang belum terjangkau
media. Media cetak baru beredar pesat di daerah urban. Total sirkulasi dan
jumlah eksemplar masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk, bila
mengikuti standar UNESCO. Survei membuktikan bahwa internet baru menjangkau
hampir 25% dari keseluruhan penduduk, sementara televisi swasta 78%. Selain
itu, televisi swasta lebih diorientasikan untuk penduduk di kota, yang isinya
seragam. Dari sekitar dua ratus atau tiga ratus stasiun televisi dikuasai oleh
10 stasiun televisi yang berpusat di Jakarta.
Regulasi
media di Negara demokratis dibagi dua. Pertama, media yang tidak menggunakan
wilayah publik atau frekuensi umum. Media jenis ini memiliki aturan sendiri yang
diregulasi oleh organisasi pers masing-masing. Kedua, media yang memakai
wilayah publik atau frekuensi seperti radio dan televisi. Media jenis ini
memiliki peraturan yang lebih ketat, seperti izin, isi, kepemilikan, dan
kecenderungan (harus netral dan tidak berpihak). Namun yang menjadi masalah,
kini kenyataan stasiun televisi isinya seragam dan pemusatan kepemilikan yang
berlebihan.
Pengatur
utama dunia penyiaran adalah KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), Kementerian
Kominfo, dan Bapepam-LK. KPI sudah banyak memberi sanksi tentang konten, namun
kurang tegas soal independensi dan ketidakcenderungan yang terkandung di dalam isi.
Maka dari itu, untuk kasus kepemilikan, Kementerian Kominfo harusnya lebih
tegas sebagai regulator utama.
Peraturan
pemerintah menyatakan bahwa seseorang atau badan hukum secara langsung ataupun
tidak langsung hanya boleh memiliki paling banyak dua stasiun televisi di dua
provinsi berbeda. Kenyataannya, seseorang bisa menguasai lebih dari satu
stasiun televisi, bahkan tiga di satu provinsi.
Kesimpulannya, pers
Indonesia serta regulator media harus lebih meningkatkan mutu. Bila tidak, kita
harus menelan kenyataan pahit bahwa kapitalisme telah menguasai segalanya, tak
ada lagi bentuk independensi dan demokrasi.
No comments:
Post a Comment