Beberapa
tahun belakangan ini, film yang bertemakan kebangsaan dan nasionalisme makin
banyak bermunculan. Memang hal ini merupakan salah satu wujud rasa cinta tanah
air bagi para sutradara lokal. Kali ini giliran Herwin Novianto sebagai
sutradara muda yang unjuk kebolehan pada masyarakat Indonesia lewat film layar
lebarnya yang kedua, Tanah Surga…Katanya.
Tanah Surga…Katanya adalah sebuah film
satir yang bercerita tentang kehidupan di sebuah desa kecil di Kalimantan, yang
mana merupakan perbatasan dengan Serawak, Malaysia. Dipaparkan secara nyata
bagaimana masyarakat di sana hampir kehilangan jati diri mereka sebagai orang
Indonesia, sebagai imbas pemerintah yang begitu tidak peduli terhadap
daerah-daerah pelosok.
Diceritakan
tentang Haris (Ence Bagus), seorang penduduk Kalimantan yang berdagang di
Malaysia. Ia mengajak anak-anaknya, Salman (Osa Aji Santoso) dan Salina (Tissa
Biani Azzahra), serta ayahnya, Hasyim (Fuad Idris), untuk bersama-sama pindah
dan berganti kewarganegaraan ke Malaysia demi kehidupan yang lebih sejahtera.
Namun Hasyim, yang dulunya merupakan pejuang Dwikora, menolak keras ajakan
tersebut. Ia bersikukuh untuk tetap tinggal di tanah Indonesia, tak peduli
apapun iming-iming yang diberikan padanya.
Tak
hanya dari segi kesejahteraan ekonomi, sisi pendidikan dan kesehatan juga
disorot lebih jauh melalui karakter seorang guru bernama Astuti (Astri Nurdin)
serta seorang dokter muda dari kota, Dr.Anwar (Ringgo Agus Rahman). Ibu Astuti yang
secara tidak sengaja ditempatkan di desa itu, menjadi guru satu-satunya.
Ditunjukkan bagaimana mirisnya bocah-bocah Indonesia tidak tahu bendera Negara
mereka, mata uang Negara mereka, bahkan lagu Indonesia Raya, lagu kebangsaan
mereka. Bentuk fisik sekolah yang bobrok juga menambah kesan dramatis. Sekolah
itu hanya memiliki satu ruang kelas dengan satu papan tulis yang diberi sekat
hanya untuk kelas tiga dan kelas empat. Entah bagaimana nasib anak-anak kelas
satu, dua, lima, dan enam. Sementara itu, kehadiran Dokter Anwar juga
menunjukkan bagaimana sulitnya daerah pelosok mendapat supply obat dari kota terdekat, serta betapa jauh rumah sakit yang
bahkan terletak paling dekat dari situ.
Osa
Aji Santoso sebagai bocah pemeran utama dalam film Tanah Surga…Katanya juga sukses menarik simpati penonton dengan
aktingnya yang begitu kokoh mencerminkan sosok Salman. Karakter sebagai bocah
yang kuat, tegar, dan kritis berhasil ia tampilkan dengan baik. Bahkan beberapa
adegan yang dimainkannya sempat mengundang haru. Misalnya ketika ia berlari
dengan gembira menyusuri jalan perbatasan Malaysia dan Indonesia, yang mana
menampilkan ironika jalanan aspal milik Malaysia yang langsung berbatasan
dengan jalanan tanah setapak milik Indonesia. Sosok Salman pada saat itu dengan
begitu kuatnya memancarkan kebanggaan, berlari sambil membawa selembar bendera
merah putih kumal. Bagi saya, adegan ini adalah adegan puncak di mana para
penonton akan diam-diam menyusut air mata haru mereka.
Sayangnya,
Kalimantan sebagai daerah Indonesia yang terhitung memiliki kekayaan alam yang
layak dipamerkan malah tidak banyak dieksplorasi dan ditampilkan ke atas layar.
Memang, beberapa kali ditampilkan sungai berair biru jernih sebagai ciri khas
Kalimantan Barat, namun entah mengapa tidak dibuat mengesankan dan indah.
Berbeda dengan film-film Indonesia yang memiliki tema menyerempet aspek
nasionalisme lainnya, seperti Laskar Pelangi dengan latar Belitung, atau film 5cm dengan Gunung Semeru. Film-film
ini, walaupun tidak habis-habisan diekspos, namun cukup berkesan dengan
menggambarkan sisi keindahan Indonesia.
Secara
konsep, film ini memang patut diacungi jempol. Latarnya jelas dan menarik,
mengangkat tentang daerah perbatasan yang notabene jarang dilirik orang. Nilai
moral dan pesan etika yang ditanamkan juga sampai dengan mulus, meninggalkan
kesan yang mendalam bagi para penonton. Namun, ada hal yang bisa kita kritisi
dari konsep ini. Indonesia dan Malaysia bisa diibaraatkan seperti anjing dan
kucing yang selalu berkonflik dari masa ke masa. Film ini memang tak bermaksud
menanamkan rasa antipati terhadap Negara tetangga, namun kesalahan penafsiran
dari penonton bisa saja menimbulkan kebencian terhadap Malaysia, walaupun sama
sekali tak dimaksudkan demikan.
Selain
itu, terdapat beberapa keganjilan yang muncul lewat adegan-adegan pemain.
Misalnya, ketika adegan para pemain sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Pada saat itu, di atas sampan di tengah danau, maut menjemput Hasyim. Ketika
itu pula Salman menelepon ayahnya yang berada di Malaysia mengabari kematian
sang kakek. Padahal, di beberapa adegan sebelumnya, terlihat Dokter Anwar
kesulitan mencari sinyal telepon, sampai harus naik ke atap sebelah antena
televisi demi memesan obat-obatan. Juga ketika ibu guru Astuti memberi Salman
sebutan “murid terbaik kami”, padahal sebelumnya yang ditunjukkan hanyalah
sekali Salman mendapat nilai empat, sementara teman-temannya mendapat nilai
nol. Selebihnya yang ditunjukkan adalah ketika Salman membolos sekolah demi
bekerja untuk biaya berobat kakeknya, tidak menampilkan dengan jelas di mana
letak ‘murid terbaik’ tadi. Adegan-adegan kecil ini mungkin luput dari
pertimbangan dan perhatian sutradara. Pun begitu, tak banyak mengganggu jalan
cerita utama kisah ini.
Tanah
Surga…Katanya memang bukan satu-satunya film yang bertema nasionalisme. Secara
keseluruhan juga merupakan film yang apik dan pantas untuk ditonton, walau bukan
merupakan film istimewa.
No comments:
Post a Comment