Gue merasa gue punya masalah. Masalah sepele yang entah
kenapa gue rasa besar.
Somehow gue merasa keputusan gue untuk masuk jurusan
Komunikasi itu bener-bener tepat. Gue harus belajar banyak karena sepertinya
gue bukan seorang komunikator yang baik. Gue merasa gue bisa menempatkan diri
dengan objektif. Gue bisa berempati sama orang lain. Gue bisa mengerti
permasalahan orang lain dengan cara berhasil menempatkan perasaan di posisi
dia. Gue sering nerima respon kayak “lo ngerti gue banget” dan “yang lo bilang
bener juga sih” atau semacamnya.
Tapi gue nggak menemukan orang yang bisa begitu sama gue.
Kadang gue ngerasa lingkungan gue begitu kasar. Entah apa konsep ‘rude’ dalam
bahasa Indonesia, tapi ‘rude’ itu sendiri lebih mewakilkan apa yang gue rasakan
dibanding ‘kasar’. Ya, gue hampir nggak menemukan orang yang bisa menempatkan
diri di sudut pandang gue. Entah orang orang di sekitar gue nggak ada yang
berusaha, atau memang sudut pandang gue sulit untuk disibak sama orang lain.
Atau mungkin karena masalah gue komunikator yang buruk itu
tadi, jadi orang lain nggak bisa dengan presisi menempatkan diri mereka di
posisi gue? Bahkan orang terdekat gue, dia nggak pernah bisa ngerti kalo gue
marah atau ngerasa nggak nyaman. Dia nggak pernah bisa ngerti makna marah dan
diamnya gue.
“...and we don’t know
how, how we got into this mad situation, only doing things out of frustration.
Trying to make it work, but, man, these times are hard.”
Dan gue masih di sini, mikirin hubungan gue yang mendadak
nggak seindah dulu, muter-muter lagu For
The First Timenya The Script berulang-ulang, sambil menimbang-nimbang
apakah tulisan amburadul ini akan gue masukkin blog atau enggak. Dari beberapa
jam yang lalu gue merangkai kata-kata yang tepat, supaya ada orang yang bisa
ngerti apa yang gue maksud dengan tepat, terutama dia.
Padahal udah berbulan-bulan gue merasakan kalo dia itu orang
yang tepat, istilahnya kayak ‘he is the one’. Tapi karena satu masalah yang
berakar dari kebiasaannya dia (yang notabene sebenernya gue harusnya udah bisa maklumi)
gue mulai ragu sama apa yang gue yakini ini. Sejujurnya bukan cuma
sekali dua kali gue ngebayangin what if ‘gue menikah sekarang’ things (well randomly). Tadinya
gue mikir 70-80% bahwa gue pasti bisa, toh gue udah dewasa.
Tapi ketika ada masalah yang sekecil kerikil aja tiba-tiba
gue goyah.
“...and we don’t know
how, how we got into this mess, is it God’s test? Someone help us ‘cause we’re
doing our best.”
Gue tau gue kuat, gue bisa bertahan. Nggak sekali dua kali
gue berpikir untuk menyerah (man, lo kira ngejalanin ini nggak berat?). Tapi
gue selalu ingat sama masa lalu yang pernah sama-sama kita alami. Kita lewati
bersama, yang kemudian bikin kita berdua kembali lagi seperti ini. Itu kenangan
yang bener bener pahit, walaupun kalo hal itu nggak terjadi, gue nggak yakin
‘kita’ masih ada. Tapi tetep aja, gue nggak mau kembali lagi seperti itu,
melewati masa-masa suram hanya karena gue melakukan sesuatu dengan gegabah dan
tanpa pertimbangan yang matang. Hasilnya hanya penyesalan yang nggak selesai-selesai.
Untungnya semesta masih baik sama kita, karena kemudian kita
dipertemukan kembali entah bagaimana ceritanya, sehingga kita merasa saling
takut kehilangan, karena kita sama-sama pernah mengalaminya. What a bitter
sweet.
Nope nope masalah ini nggak ada hubungannya dengan orang
lain, yang sedemikian rupa bisa mempengaruhi suasana hati gue sesaat maupun
beberapa saat. Orang lain bahkan nggak ada mampir di pikiran gue setelah dia
hilang dari pandangan. Out of sight, out of mind. Well, i hope so.
Tapi beneran deh pikiran gue bener-bener dipenuhi cuma sama dia, which is good. Sayangnya penuhnya bukan karena hal-hal baik tentang dia, which is not good.
“We’re smiling but
we’re close to tears, even after all these years. We just now got the feeling
that we’re meeting for the first time.”
Cukup sarkastik dan gue merasa tersindir, walaupun nggak
tepat. Nobody is smiling, and i am the only person that is close to tears, well
so fucking close. Pernah nggak sih lo begitu berat berpikir tentang hubungan lo
dengan dia, tapi kemudian lo berprasangka jangan-jangan gue dong yang mikirin,
gue doang yang mencemaskan, gue doang yang capek...dia enggak?
Mengenai apa yang gue rasakan sekarang, enggak seekstrim
perasaan waktu kami pertama bertemu, sih. Gue masih sayang kok. So fuckin madly
deeply in love like before. Well, not like really before karena, nah di sini
anehnya, gue merasa ada yang beda atas apa yang gue rasakan. Love is usually
good, but now it feels like pain for keeping it inside here. And that big
amount of love feels like...........tons or more of pain.
Kesimpulan
Ini hanya masa-masa sulit biasa. Sebentar lagi ini akan
berlalu, persis seperti sebelum-sebelumnya. Selama kami masih bertahan dan
tidak menyerah, which is exactly what are we going to do.
“Oh, these times are
hard, yeah, they’re making us crazy.
Don’t give up on me, baby.”