Friday, December 1, 2017

Hi, how are you? I am fine, thanks.

Aku tidak baik-baik saja. Itu jawabannya, kalau ada yang bertanya.
Mungkin aku pantasnya jadi pemain film, mungkin karena aku pintar berpura-pura dan membuat orang mengira persis seperti apa yang aku inginkan. Aku dramatis, dan sudah diakui sekitar empat dari lima orang, atau mungkin lebih. Yassss, I love drama.

Banyak hal yang terjadi belakangan ini, membuat aku berpikir dua kali bagian mana yang mesti aku ceritakan, dan bagian mana yang tidak; dan kepada siapa aku mesti cerita. Aku punya banyak teman dekat, tapi – tik tok – waktu lama-lama melaporkan siapa saja yang bisa tidak usah dipercaya.

Kupikir aku depresi, tapi mungkin kata itu terlalu kuat. Jadi tidak – aku tidak depresi. Mungkin sebagian temanku iya, tanpa mereka sadari. Aku beruntung nasibku masih agak sedikit cukup lebih lumayan baik dibanding mereka. Tapi aku bukannya depresi. Ini cuma – hmm, bagaimana istilahnya ya – shock, terkejut, kaget, tidak sesuai ekspektasi.

Aku tertawa dan bercanda dengan orang lain tiap hari, aku hang out hampir setiap hari, bahkan sampai hampir pagi kalau akhir pekan. Aku punya banyak orang yang bisa aku telepon begitu saja dan rela dengar keluhanku berjam-jam. Aku bahkan punya uang yang (rasanya lebih dari) cukup untuk beli hal-hal yang bisa membuat aku merasa baikan.

Tapi terus kenapa ada sesuatu yang masih terasa salah?

Jika seseorang bertanya “bagaimana cara mengatasi depresi” padaku, aku mungkin akan bilang “just literally go fuuuccckkk yourself.” Yep.

No. No, ternyata aku bilang kata-kata yang menghibur dan menyenangkan, seperti “take it easy,” “liburan,” “hang out,” “main.”

Orang itu bertanya pada orang yang mengatasi rasa stresnya dengan menyerah. 

Dia berharap aku bilang apa?





Dude, I gave up. I quit. I tell you once more: I quit.

Monday, October 12, 2015

Fanwar: Trivialisasi Ruang Publik

Memasuki era masyarakat global, di mana internet sudah menjadi barang wajib, media-media sosial pun tak luput menjadi tempat untuk berdiskusi dan bertukar informasi. Lebih baiknya lagi, partisipan bisa berasal dari manapun, tanpa terbatas ruang dan jarak. Tak hanya bicara setingkat balai desa atau balai kota yang mengumpulkan penduduk dari satu kota, media sosial bisa mempertemukan masyarakat dari belahan dunia yang berbeda. Pertemuyan virtual ini nampak begitu berharga untuk kemudian para partisipan saling bertukar informasi dan pemahaman atas suatu isu dari sudut pandang budaya yang berbeda.

Menindaklanjuti hal ini, pengusaha media sosial pun berlomba untuk membuat ruang publik yang lebih kondusif untuk para penggunanya saling berdiskusi. Beberapa media sosial bahkan melengkapi media mereka dengan fitur yang dikhususkan untuk berkumpul dan berdiskusi. Hal ini tentu saja merupakan perbaikan yang positif, di mana pengelola media memiliki sensitivitas yang tinggi atas kebutuhan publik, kemudian mewujudkannya dalam bentuk pembaharuan yang bertahap dan berkelanjutan di media mereka masing-masing.

Demikian juga dengan media sosial Facebook, di mana kita mengenal adanya fitur group, yaitu ruang tersendiri di mana para pengguna bisa mengumpulkan anggota grup dan bebas membicarakan hal yang berhubungan dengan dunia mereka. Grup ini merupakan ruang publik yang bisa digunakan untuk menghimpun opini dan memberi pemahaman baru dengan bertukar pikiran dengan orang lain. Kita bisa merasakan sendiri fitur ini memiliki kegunaan yang besar, karena anggota kelompok memiliki privasi mereka dalam membahas internal kelompok. Anggota yang dikumpulkan pun beragam, mulai dari lembaga formal virtual, kelompok pertemanan, kelompok semi formal, bahkan tak jarang grup digunakan untuk berdiskusi mengenai sebuah isu, tanpa anggotanya saling kenal dengan anggota lainnya.

Tapi makin luas lingkupnya, makin beragam pula penggunaannya. Tak jarang juga penggunaan grup di media sosial mengalami penurunan dari segi kualitas, misalnya seperti contoh di bawah ini:





Sumber utama foto ini sebenarnya tidak jelas dan tidak ditemui aslinya. Namun gambar ini telah ditemukan berulang kali dipost di beberapa akun media sosial, terutama media sosial yang berhubungan dengan fanatic domain tertentu. Dari judul grup sudah terlihat, “DEBAT Beliebers VS Alicious (Official Group)” mengandung dua nama fanatic domain besar nasional dan internasional. Beliebers merupakan nama dari fanatic domain penyanyi asal Kanada, Justin Bieber, sementara Alicious merupakan fanatic domain aktor dan pemain sinetron Indonesia, Aliando Syarief.

Walaupun miris, namun sekilas grup ini terlihat begitu menghibur jika dilihat dari sudut pandang orang di luar fanatic domain. Entah apa isi yang dibahas di dalam grup tersebut, entah apa yang diperdebatkan oleh para penggemar Justin Bieber dan Aliando Syarief, yang pada dasarnya memiliki kelas yang berbeda dan bahkan jenis dunia hiburan yang berbeda. Mereka tidak saling mengenal, apalagi memiliki masalah satu sama lain yang pantas diperdebatkan. Hal itulah yang membuat kita bertanya-tanya apakah gerangan yang menjadi konten pembahasan di dalamnya.

Anehnya lagi, konten yang kebetulan tersebar dari grup tersebut malahan yang tidak berhubungan sama sekali, baik dengan Justin Bieber maupun Aliando Syarief. Pesan di dalam grup juga melibatkan dua fanatic domain besar, yang lagi-lagi berada di kelas yang berbeda, yaitu Directioner, fanatic domain  dari boyband asal Inggris yang merupakan salah satu fanatic domain terbesar di dunia, serta Comate, fanatic domain dari boyband remaja tanggung asal Indonesia, Cowboy Junior. Pesan dari gambar tersebut sendiri menunjukkan sindiran tajam seorang Comate pada Directioner. Ia menuduh One Direction meniru apa yang dilakukan oleh Cowboy Junior. Padahal logikanya, kedua grup penyanyi ini berada di liga yang jauh berbeda, dan hal yang dituduhkan pun tidak masuk akal, seperti keluar dari grup dianggap plagiat, memiliki Twitter, memiliki mobil, dan bahkan kesamaan status pun dianggap plagiat. Entah harus tertawa atau menangis melihatnya.

Inilah yang menjadi salah satu masalah dalam ruang publik, yaitu trivialisasi, di mana kualitas isu yang dibahas di ruang publik mengalami penurunan.  Sekilas tak ada yang salah dengan grup ini. Asumsi orang akan mengarah ke sekelompok anak-anak kecil hingga remaja tanggung yang merupakan penggemar dari tokoh-tokoh tersebut. Padahal sejatinya, sayang sekali jika ruang publik serta partisipasi masyarakat, terutama mereka yang masih muda, difokuskan pada isu tidak penting seperti ini. Terutama ketika sebenarnya tidak ada masalah yang sungguhan terjadi antara satu kelompok dengan kelompok lain, namun kemudian dengan adanya grup diskusi malah timbul sentimen antargrup dan mendorong munculnya fanwar atau perang antar fanatic domain yang dilatarbelakangi alasan tidak logis.

Hal ini diperparah dengan kepedulian serta pemahaman media para orang tua yang turut mengalami penurunan. Anak-anak kecil kadang sudah diberikan pegangan gawai di usia yang begitu muda, padahal mereka belum memiliki pondasi pemahaman penggunaan media yang kuat. Mereka kemudian belajar bermedia dan berinteraksi dengan orang lain di dunia virtual secara otodidak, di mana sumber yang mereka imitasi belum tentu benar. Patut disayangkan, padahal mungkin jika sebagian besar orang tua memliki peran dalam pelajaran bermedia anak-anaknya, mungkin hal ini tidak akan terjadi hingga berlarut-larut. Orang tua memang bukan satu-satunya faktor, namun tetap saja keluarga merupakan sumber pendidikan utama yang patut dipersalahkan pertama kali atas kelakuan anak-anaknya.

gambar:
Line One Direction For Us. 2015. Line Official. (tanpa tautan).

Monday, June 8, 2015

ke mana aja loe

seperti temen kalo butuh, gue baru buka lagi blog ini setelah berbulan bulan dibiarkan terbengkalai dengan tujuan yang kurang bermanfaat (bagi siapapun...). memang udah banyak yang nanyain kenapa gue ga update blog lagi, cuma ya, begini deh:
sesuka sukanya lo sama suatu hal, kalo lo dikasih itu terus ya demek juga. atau kalo bahasa ekonominya, mungkin, tingkat kepuasannya akan menurun.

jadi begitulah, kadang gue bosen juga nulis, apalagi nulisnya yang berat-berat. kadang gue mikir apa iya biar blog ini ngga sepi itu tugas-tugas gue dimasukkin ke sini? (siapa juga yang mau baca anw)

bonus tugas gue mata kuliah reportase kemarin, dari 3 berita baru 2 yang dipost. beritanya juga ngga menarik menarim banget tapi proses di balik berita itu...alamakjan bikin gue rasanya pengen cepet cepet jadi istri pengusaha.

http://liputan.tersapa.com/pengojek-yogyakarta-tak-takut-bersaing-dengan-ojek-urban/

http://liputan.tersapa.com/upaya-pengaturan-ojek-yogyakarta/


Monday, September 15, 2014

For The First Time

Gue merasa gue punya masalah. Masalah sepele yang entah kenapa gue rasa besar.

Somehow gue merasa keputusan gue untuk masuk jurusan Komunikasi itu bener-bener tepat. Gue harus belajar banyak karena sepertinya gue bukan seorang komunikator yang baik. Gue merasa gue bisa menempatkan diri dengan objektif. Gue bisa berempati sama orang lain. Gue bisa mengerti permasalahan orang lain dengan cara berhasil menempatkan perasaan di posisi dia. Gue sering nerima respon kayak “lo ngerti gue banget” dan “yang lo bilang bener juga sih” atau semacamnya.

Tapi gue nggak menemukan orang yang bisa begitu sama gue. Kadang gue ngerasa lingkungan gue begitu kasar. Entah apa konsep ‘rude’ dalam bahasa Indonesia, tapi ‘rude’ itu sendiri lebih mewakilkan apa yang gue rasakan dibanding ‘kasar’. Ya, gue hampir nggak menemukan orang yang bisa menempatkan diri di sudut pandang gue. Entah orang orang di sekitar gue nggak ada yang berusaha, atau memang sudut pandang gue sulit untuk disibak sama orang lain.

Atau mungkin karena masalah gue komunikator yang buruk itu tadi, jadi orang lain nggak bisa dengan presisi menempatkan diri mereka di posisi gue? Bahkan orang terdekat gue, dia nggak pernah bisa ngerti kalo gue marah atau ngerasa nggak nyaman. Dia nggak pernah bisa ngerti makna marah dan diamnya gue.

“...and we don’t know how, how we got into this mad situation, only doing things out of frustration. Trying to make it work, but, man, these times are hard.”

Dan gue masih di sini, mikirin hubungan gue yang mendadak nggak seindah dulu, muter-muter lagu For The First Timenya The Script berulang-ulang, sambil menimbang-nimbang apakah tulisan amburadul ini akan gue masukkin blog atau enggak. Dari beberapa jam yang lalu gue merangkai kata-kata yang tepat, supaya ada orang yang bisa ngerti apa yang gue maksud dengan tepat, terutama dia.

Padahal udah berbulan-bulan gue merasakan kalo dia itu orang yang tepat, istilahnya kayak ‘he is the one’. Tapi karena satu masalah yang berakar dari kebiasaannya dia (yang notabene sebenernya gue harusnya udah bisa maklumi) gue mulai ragu sama apa yang gue yakini ini. Sejujurnya bukan cuma sekali dua kali gue ngebayangin what if ‘gue menikah sekarang’ things (well randomly). Tadinya gue mikir 70-80% bahwa gue pasti bisa, toh gue udah dewasa.

Tapi ketika ada masalah yang sekecil kerikil aja tiba-tiba gue goyah.

“...and we don’t know how, how we got into this mess, is it God’s test? Someone help us ‘cause we’re doing our best.”

Gue tau gue kuat, gue bisa bertahan. Nggak sekali dua kali gue berpikir untuk menyerah (man, lo kira ngejalanin ini nggak berat?). Tapi gue selalu ingat sama masa lalu yang pernah sama-sama kita alami. Kita lewati bersama, yang kemudian bikin kita berdua kembali lagi seperti ini. Itu kenangan yang bener bener pahit, walaupun kalo hal itu nggak terjadi, gue nggak yakin ‘kita’ masih ada. Tapi tetep aja, gue nggak mau kembali lagi seperti itu, melewati masa-masa suram hanya karena gue melakukan sesuatu dengan gegabah dan tanpa pertimbangan yang matang. Hasilnya hanya penyesalan yang nggak selesai-selesai.

Untungnya semesta masih baik sama kita, karena kemudian kita dipertemukan kembali entah bagaimana ceritanya, sehingga kita merasa saling takut kehilangan, karena kita sama-sama pernah mengalaminya. What a bitter sweet.

Nope nope masalah ini nggak ada hubungannya dengan orang lain, yang sedemikian rupa bisa mempengaruhi suasana hati gue sesaat maupun beberapa saat. Orang lain bahkan nggak ada mampir di pikiran gue setelah dia hilang dari pandangan. Out of sight, out of mind. Well, i hope so.

Tapi beneran deh pikiran gue bener-bener dipenuhi cuma sama dia, which is good. Sayangnya penuhnya bukan karena hal-hal baik tentang dia, which is not good.

“We’re smiling but we’re close to tears, even after all these years. We just now got the feeling that we’re meeting for the first time.”

Cukup sarkastik dan gue merasa tersindir, walaupun nggak tepat. Nobody is smiling, and i am the only person that is close to tears, well so fucking close. Pernah nggak sih lo begitu berat berpikir tentang hubungan lo dengan dia, tapi kemudian lo berprasangka jangan-jangan gue dong yang mikirin, gue doang yang mencemaskan, gue doang yang capek...dia enggak?

Mengenai apa yang gue rasakan sekarang, enggak seekstrim perasaan waktu kami pertama bertemu, sih. Gue masih sayang kok. So fuckin madly deeply in love like before. Well, not like really before karena, nah di sini anehnya, gue merasa ada yang beda atas apa yang gue rasakan. Love is usually good, but now it feels like pain for keeping it inside here. And that big amount of love feels like...........tons or more of pain.

Kesimpulan
Ini hanya masa-masa sulit biasa. Sebentar lagi ini akan berlalu, persis seperti sebelum-sebelumnya. Selama kami masih bertahan dan tidak menyerah, which is exactly what are we going to do.
“Oh, these times are hard,  yeah, they’re making us crazy. Don’t give up on me, baby.”


Sunday, May 18, 2014

Solo, Saksi Bisu Perkembangan Komunikasi di Indonesia

Study tour, saya kira hanya ada di bangku TK hingga SMA. Ternyata saya juga merasakannya di bangku kuliah. Hanya saja namanya berbeda, lebih keren dan terdengar intelek: field trip. Trip satu hari ke kota tetangga ini hanya dialami di semester kedua Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, sebagai pemenuhan mata kuliah Sejarah Sosial dan Media. Tujuan kami adalah ke dua tempat menarik di kota Solo, Jawa Tengah, yaitu studio rekaman Lokananta dan Monumen Pers Nasional.

Mbak Dosen Mutia meminta kami semua datang lebih awal, yaitu pukul enam pagi. Angka yang begitu horor bagi saya, karena hari sebelumnya saya baru saja pulang dari travelling akhir pekan ke Bandung, Jawa Barat. Masih dalam tahap pemulihan tenaga dan finansial, saya harus menyeret paksa tubuh saya ke kampus pagi-pagi buta. Menunggu beberapa jam di San Siro, sekitar pukul delapan baru kami naik ke atas bus dan memulai  perjalanan kami. Bus yang kami tumpangi ternyata bus yang bagus dan nyaman, senang rasanya.
ruang rekaman
Sekitar pukul setengah sepuluh, kami tiba di studio rekaman Lokananta. Dari luar tempat ini terlihat usang dan gersang, membuat saya menerka-nerka hal apakah yang membuat tempat ini menjadi destinasi field trip tiap tahun. Kami dibawa ke suatu ruangan luas dengan dinding dan plafon yang begitu unik. Ternyata tempat itu juga difungsikan untuk rekaman dan dibuat sedemikian rupa berdasarkan sistem suara. Beberapa pihak lokananta juga ada di sana, memberi sambutan dan hal-hal pengantar mengenai tempat
tersebut. Beberapa hal kami bahas, seperti sejarah, alasan didirikannya Lokananta, serta perkembangannya.

Hal menarik yang dapat saya simpulkan adalah bahwa Lokananta adalah studio rekaman pertama di Indonesia. Lokananta memiliki teknologi yang canggih dari dulu hingga sekarang. Pada mulanya, Lokananta didirikan dengan visi dan misi budaya, yaitu mempersatukan kebudayaan-kebudayaan tiap daerah di Indonesia, terutama lagu-lagu daerah. Musisi-musisi budaya juga banyak berkembang berkat keberadaan Lokananta, seperti pesinden legendaris, Waljinah dan Gesang, pencipta lagu Bengawan Solo yang terkenal sampai ke mancanegara. Seiring berjalannya waktu, musisi-musisi modern juga banyak yang mengadakan rekaman di Lokananta, sebut saja Glenn Fredly, Shaggydog, dan Efek Rumah Kaca.

pemutar piringan hitam

Kemudian kami berkeliling Lokananta, melihat-lihat ruangan-ruangan yang menyimpan rapi saksi bisu perkembangan musik Indonesia. Kami mengunjungi ruangan penyimpanan piringan hitam. Ruangan yang kami masuki tidak terbilang luas, serta dipenuhi rak-rak yang berisi piringan-piringan hitam. Jujur, pada saat itulah pertama kali saya melihat piringan hitam sungguhan, padahal sebelum-sebelumnya hanya melihat di film kartun dan film-film tua. Tak hanya itu, saya menemukan rekaman Waljinah, Rasa Sayange, serta yang paling menakjubkan adalah rekaman pertama lagu Indonesia Raya (tertulis Indonesia Raja di sampulnya).

Selain itu, kami juga mengunjungi ruangan yang menyerupai museum, karena berisi barang-barang tua dan sudah tidak berfungsi lagi, seperti alat pengganda kaset, pemutar piringan hitam, serta beberapa alat lain yang tidak berhasil saya identifikasi kegunaannya. Terakhir kami mengunjungi ruangan re-mastering, sebuah ruangan yang nyaman dan berfungsi untuk merekam ulang suara dari sumber-sumber konvensional seperti piringan hitam dan pita ke dalam bentuk digital. Kami diberi keleluasaan untuk masuk dan ‘mengacak-acak’ ruangan ini, padahal ruangan ini biasanya terlarang selain untuk staf. Di sana kami diperdengarkan lagu Glenn Fredly, dengan suara yang begitu jernih dan halus. Ruang re-mastering tersambung dengan ruangan penyimpanan yang menyimpan rapi beratus-ratus gulungan pita, dan salah satunya adalah rekaman pidato proklamasi Soekarno.
kojel sendiri udah biasa :')

Setelah puas berkeliling, kami berfoto di depan pintu utama Lokananta sambil menikmati serabi Solo yang begitu enak. Jujur saja, saya baru kali ini menikmati serabi yang sedemikian enak. Kami kemudian melanjutkan perjalanan dan berhenti di Restoran Taman Sari untuk istirahat, salat, dan makan siang.

Destinasi kedua, Monumen Pers Nasional. Saya sangat antusias datang ke gedung ini karena saya menaruh minat di bidang jurnalistik. Sebuah gedung besar dengan ornamen candi di atasnya, dan dihiasi naga dengan posisi terlentang di sisi-sisi tangga, terkesan artistik. Pertama, kami disambut dengan video profil Monumen Pers Nasional, sebuah video yang menjelaskan mengenai sejarah, perkembangan, dan kegunaan bangunan ini. Kami masing-masing juga mendapatkan booklet yang berisi keterangan mengenai barang-barang bersejarah yang berhubungan dengan jurnalistik.

Gedung Monumen Pers Nasional terdiri dari lima lantai, dan masing-masing lantai berisi ruangan-ruangan tertentu. Gedung ini menyimpan arsip-arsip media cetak, terutama surat kabar dan majalah. Monumen Pers Nasional memiliki surat kabar-surat kabar tua yang sudah menguning bahkan edisi-edisi pertama dari berbagai surat kabar. Koleksi surat kabar tertua milik Monumen Pers Nasional adalah surat kabar Panorama, terbit pada 23 Mei 1917, hampir satu abad yang lalu. Monumen Pers Nasional juga menyimpan edisi-edisi bersejarah surat kabar, antara lain surat kabar yang memberitakan tentang meninggalnya mantan presiden Soekarno, berita peristiwa proklamasi Indonesia, bahkan surat kabar yang merupakan propaganda Jepang di Indonesia. Surat-surat yang fisiknya sudah tua ini difoto dengan resolusi tinggi dan bisa dibaca secara digital, karena saking tuanya sudah tidak aman lagi jika dipamerkan pada umum secara fisik.

Monumen Pers Nasional juga memiliki enam diorama yang menggambarkan perkembangan media dari masa ke masa. Tak hanya itu, ada juga delapan patung dada yang berada di kanan dan kiri ruang utama, merupakan patung dari tokoh-tokoh perintis pers di Indonesia.

Selama ini saya selalu menebak-nebak, apa yang harus saya lakukan dan ke mana saya harus pergi jika saya ingin mengadakan penelitian, katakanlah membuat skripsi, yang mengharuskan saya mencari info di surat kabar hingga beberapa tahun ke belakang. Perpustakaan biasa hanya menyimpan surat kabar dalam jangka waktu tiga bulan, atau paling lama satu tahun. Maka dari itu saya gembira dan tidak menyesal datang ke sini, karena saya mengetahui bahwa pengunjung bisa dengan bebas meminjam surat kabar modern edisi lama, seperti lima atau sepuluh tahun yang lalu. Monumen Pers Nasional sangat memfasilitasi hal ini, dan bagi saya merupakan tempat yang tepat.


Satu hari perjalanan ke Solo hari itu begitu luar biasa bagi saya. Saya selalu suka pelajaran yang diadakan di luar kelas, karena pasti mengasyikkan dan tidak membosankan. Terlebih jika diadakan gratis dan berlimpah makanan seperti ini.