Monday, October 12, 2015

Fanwar: Trivialisasi Ruang Publik

Memasuki era masyarakat global, di mana internet sudah menjadi barang wajib, media-media sosial pun tak luput menjadi tempat untuk berdiskusi dan bertukar informasi. Lebih baiknya lagi, partisipan bisa berasal dari manapun, tanpa terbatas ruang dan jarak. Tak hanya bicara setingkat balai desa atau balai kota yang mengumpulkan penduduk dari satu kota, media sosial bisa mempertemukan masyarakat dari belahan dunia yang berbeda. Pertemuyan virtual ini nampak begitu berharga untuk kemudian para partisipan saling bertukar informasi dan pemahaman atas suatu isu dari sudut pandang budaya yang berbeda.

Menindaklanjuti hal ini, pengusaha media sosial pun berlomba untuk membuat ruang publik yang lebih kondusif untuk para penggunanya saling berdiskusi. Beberapa media sosial bahkan melengkapi media mereka dengan fitur yang dikhususkan untuk berkumpul dan berdiskusi. Hal ini tentu saja merupakan perbaikan yang positif, di mana pengelola media memiliki sensitivitas yang tinggi atas kebutuhan publik, kemudian mewujudkannya dalam bentuk pembaharuan yang bertahap dan berkelanjutan di media mereka masing-masing.

Demikian juga dengan media sosial Facebook, di mana kita mengenal adanya fitur group, yaitu ruang tersendiri di mana para pengguna bisa mengumpulkan anggota grup dan bebas membicarakan hal yang berhubungan dengan dunia mereka. Grup ini merupakan ruang publik yang bisa digunakan untuk menghimpun opini dan memberi pemahaman baru dengan bertukar pikiran dengan orang lain. Kita bisa merasakan sendiri fitur ini memiliki kegunaan yang besar, karena anggota kelompok memiliki privasi mereka dalam membahas internal kelompok. Anggota yang dikumpulkan pun beragam, mulai dari lembaga formal virtual, kelompok pertemanan, kelompok semi formal, bahkan tak jarang grup digunakan untuk berdiskusi mengenai sebuah isu, tanpa anggotanya saling kenal dengan anggota lainnya.

Tapi makin luas lingkupnya, makin beragam pula penggunaannya. Tak jarang juga penggunaan grup di media sosial mengalami penurunan dari segi kualitas, misalnya seperti contoh di bawah ini:





Sumber utama foto ini sebenarnya tidak jelas dan tidak ditemui aslinya. Namun gambar ini telah ditemukan berulang kali dipost di beberapa akun media sosial, terutama media sosial yang berhubungan dengan fanatic domain tertentu. Dari judul grup sudah terlihat, “DEBAT Beliebers VS Alicious (Official Group)” mengandung dua nama fanatic domain besar nasional dan internasional. Beliebers merupakan nama dari fanatic domain penyanyi asal Kanada, Justin Bieber, sementara Alicious merupakan fanatic domain aktor dan pemain sinetron Indonesia, Aliando Syarief.

Walaupun miris, namun sekilas grup ini terlihat begitu menghibur jika dilihat dari sudut pandang orang di luar fanatic domain. Entah apa isi yang dibahas di dalam grup tersebut, entah apa yang diperdebatkan oleh para penggemar Justin Bieber dan Aliando Syarief, yang pada dasarnya memiliki kelas yang berbeda dan bahkan jenis dunia hiburan yang berbeda. Mereka tidak saling mengenal, apalagi memiliki masalah satu sama lain yang pantas diperdebatkan. Hal itulah yang membuat kita bertanya-tanya apakah gerangan yang menjadi konten pembahasan di dalamnya.

Anehnya lagi, konten yang kebetulan tersebar dari grup tersebut malahan yang tidak berhubungan sama sekali, baik dengan Justin Bieber maupun Aliando Syarief. Pesan di dalam grup juga melibatkan dua fanatic domain besar, yang lagi-lagi berada di kelas yang berbeda, yaitu Directioner, fanatic domain  dari boyband asal Inggris yang merupakan salah satu fanatic domain terbesar di dunia, serta Comate, fanatic domain dari boyband remaja tanggung asal Indonesia, Cowboy Junior. Pesan dari gambar tersebut sendiri menunjukkan sindiran tajam seorang Comate pada Directioner. Ia menuduh One Direction meniru apa yang dilakukan oleh Cowboy Junior. Padahal logikanya, kedua grup penyanyi ini berada di liga yang jauh berbeda, dan hal yang dituduhkan pun tidak masuk akal, seperti keluar dari grup dianggap plagiat, memiliki Twitter, memiliki mobil, dan bahkan kesamaan status pun dianggap plagiat. Entah harus tertawa atau menangis melihatnya.

Inilah yang menjadi salah satu masalah dalam ruang publik, yaitu trivialisasi, di mana kualitas isu yang dibahas di ruang publik mengalami penurunan.  Sekilas tak ada yang salah dengan grup ini. Asumsi orang akan mengarah ke sekelompok anak-anak kecil hingga remaja tanggung yang merupakan penggemar dari tokoh-tokoh tersebut. Padahal sejatinya, sayang sekali jika ruang publik serta partisipasi masyarakat, terutama mereka yang masih muda, difokuskan pada isu tidak penting seperti ini. Terutama ketika sebenarnya tidak ada masalah yang sungguhan terjadi antara satu kelompok dengan kelompok lain, namun kemudian dengan adanya grup diskusi malah timbul sentimen antargrup dan mendorong munculnya fanwar atau perang antar fanatic domain yang dilatarbelakangi alasan tidak logis.

Hal ini diperparah dengan kepedulian serta pemahaman media para orang tua yang turut mengalami penurunan. Anak-anak kecil kadang sudah diberikan pegangan gawai di usia yang begitu muda, padahal mereka belum memiliki pondasi pemahaman penggunaan media yang kuat. Mereka kemudian belajar bermedia dan berinteraksi dengan orang lain di dunia virtual secara otodidak, di mana sumber yang mereka imitasi belum tentu benar. Patut disayangkan, padahal mungkin jika sebagian besar orang tua memliki peran dalam pelajaran bermedia anak-anaknya, mungkin hal ini tidak akan terjadi hingga berlarut-larut. Orang tua memang bukan satu-satunya faktor, namun tetap saja keluarga merupakan sumber pendidikan utama yang patut dipersalahkan pertama kali atas kelakuan anak-anaknya.

gambar:
Line One Direction For Us. 2015. Line Official. (tanpa tautan).