Wednesday, December 13, 2017

Qualifications

This is a short journey, honey.
Or you might think this is not journey, at all.
We met each other deep in darkness, I met what I was looking for, but you did not.

We have few commons:
We like movies
We like good talk for hours
We like to give good answers
And we are proud of ourselves
We have not met anybody who is qualified, have we?

But totally, we are different:
We talked about stars
And I know that you like cigs, drinks, and sex,
but I don’t.
We talked about lambs and chicken,
And I know that you don’t like Dunkirk and The Punisher,
but I do.
You like Ben Affleck’s chin, and I like your lips.

Am I qualified? Are you?

We have not talk a lot, you have not knew me well
You did not give enough chance for yourself to fall in love to more than my body
I told you to love me
And my personality and my bad and my kindness and my soul
But I am not qualified, you probably whispered.

We talked a lot enough, I knew you pretty well.
You called me when you were high. You said truth: about you, about us.
I hate every single thing slipped out from your mouth.
I hate every single thing on your body and mind.

You are not qualified. At all.

But I really want you to.
Because you get my 9.5 out of 10.

But instead, you chose to step out from the journey

Because you realized, we don’t deserve each other.



Saturday, December 2, 2017

Fighter

Aku tidak ingat kapan pernah menyerah sebelum ini. Aku yakin aku pejuang. Aku selalu jadi pihak yang berusaha untuk berjuang.

Tapi tidak kali ini. Oh jadi begini rasanya.

Buruk.
Kalah.

I’m a quitter.
I’m a damn quitter.

Does it make me a loser?

If yes, ah, no wonder.

Aku pernah punya – katakanlah – pacar. Di satu titik, dia menyerah. Dia menyerah sama aku. Dia menyerah begitu saja, meninggalkan aku yang sedang berusaha sendirian. Rasanya seperti kamu sedang membuat rumah, menyusun tumpukan batu berdua. Dia merasa tidak kuat, dan bilang “maaf aku nggak kuat. Aku udahan ya.” Dan dia pergi, meninggalkan aku yang – obviously – ketiban batu bata yang runtuh lantaran dia pergi.

Aku tau rasanya jadi aku. Sakit. Iya sakit ketiban bebatuan begitu.

Tapi di bawah tumpukan batu itu, aku bisa sedikit senyum. Aku bangga bahwa aku bukan orang yang menyerah. Aku kuat untuk berjuang, dan semua yang terjadi di luar kendaliku. Aku lebih hebat daripada dia.

Tapi aku penasaran rasanya jadi dia. Apa dia merasa seburuk yang aku rasakan ketika aku menyerah? Apa dia merasa bersalah? Atau dia sempat merasa ragu “aku ambil keputusan benar atau enggak ya?”


Aku hanya penasaran.

20s

Di usia dua puluh tahun, semua hal jadi berbeda. “Shits just got really serious,” adalah kutipan paling masuk akal di usia 20an. “Wisuda,” “lulus kuliah,” “menikah,” “hamil,” “anak,” “pajak,” “bos,” “kantor,” adalah kosakata yang akan lebih sering terdengar ketika kamu masuk usia 20an. Kamu akan merasa lebih dewasa, antusias sekaligus was-was.

Siapa yang minta aku untuk jadi dewasa? Tolong di-pause dulu. Agak nanti deh mulainya.

Tapi dunia tetap berputar, jam tetap berjalan maju, kalender tetap jalan. Kamu tetap jadi dewasa.
Kamu punya tanggung jawab yang tadinya kamu tidak punya. Semua rasanya dilempar begitu saja ke wajahmu, dan karenanya kamu baru sadar “the fuck is this?”

Di usia ini kamu juga mulai bisa lihat mana temanmu yang memang ada di sana, mana yang cuma permisi-misi numpang lewat. Kamu mulai simpan teman-temanmu yang dekat dan berguna buat hidupmu ke depannya, dan tetap menjaga mereka supaya mereka tidak pergi.

Kamu rela menghabiskan waktu untuk mereka, menjadi teman yang baik, dengar cerita mereka dari A sampai Z, dan berharap mereka akan melakukan hal yang sama buatmu. Kamu juga berusaha lebih percaya pada mereka dan meletakkan sebagian hidupmu ke mereka – karena hidupmu makin berat, kamu bingung bagaimana cara membawanya sendiri.

Tapi mungkin sebagian dari mereka – di satu titik lainnya – akan membuatmu berpikir dua kali: “kalau yang ini pantas disimpan gak yah?”

Dan kamu akan tetap tahan untuk berteman dengannya sampai kamu bisa temukan sendiri jawabannya.

Seleksi itu masih berlangsung sampai sekarang.


Habis ini siapa?

Friday, December 1, 2017

Phoncial Anxiety

Aku menjauhi ponselku. Dadaku berdegup agak lebih kencang ketika ponselku bunyi. Siapa yang menghubungi, dan mau apa?

Jadi maaf buat kalian, kalau aku balas lama – atau tidak balas. Aku lebih memilih bicara dengan orang di depan mukaku ketimbang buka ponsel dan bicara dengan orang yang mungkin tidak aku inginkan.


Pelari

Aku mungkin bisa beri tahu alasanku menyerah. Tidak ada yang tahu juga bahwa aku punya sejuta alasan untuk ini, dan aku bisa berikan alasan yang berbeda ke tiap orang.

Dan ini, aku beri satu lagi di sini:

Aku merasa buruk mengerjakan hal-hal ini. Semua yang kurasakan di luar ekspektasiku. Aku tidak punya kendali atas apapun, aku tidak bisa bergerak dengan bebas.

Rasanya seperti aku dikurung di sangkar kawat dan sayapku dipotong, kemudian mereka memintaku untuk terbang. Aku sudah mencoba sebisaku, sekuatku, tapi aku mentok di atap sangkar. Semua orang tetap menyemangati dan bilang “terbangmu bagus kok, kamu pasti bisa terbang lebih baik lagi.” Tapi aku sadar, aku tidak terbang. Mungkin aku mentok di atap sangkar, tapi karena melompat. Melompat bukan terbang. Melompat hanya bisa sampai sana, terus berhenti.

Aku menyerah untuk terbang.

Aku bilang ke orang lain: aku pelari. Aku selama ini pelari. Walau sampai kram kakiku dan jatuh terguling tubuhku, tapi aku bisa terus berlari.

Akhirnya mereka bilang “ya, kamu pelari. Sekarang keluar dari sangkar ini, dan berlarilah.”

Aku keluar sangkar dengan dagu terangkat tinggi, namun tidak ada yang melihat hatiku mencelos. Satu kebanggaan dalam diriku runtuh. Kukira aku bisa melakukan apa saja.

Aku bisa melakukan apa saja. Aku sepertinya bisa terbang. Aku punya sayap  walaupun sayap itu direnggut. Aku memang pelari, tapi apa itu berarti aku tidak bisa terbang? Atau mungkin aku hanya tidak berusaha keras belajar terbang?