Friday, August 16, 2013

hey.

hey. rasanya aneh. aku ingin kau datang. tapi di saat yang sama aku ingin memalingkan wajah sejauh-jauhnya. karena rasanya, yang datang bukan kamu. bukan kamu yang itu. rasanya beda. aku salah, memang. tapi aku sudah berusaha memperbaiki. sejujurnya. jadi maaf ya. aku rindu kamu. tapi kamu yang itu.
aku rindu kita, yang bodoh dan yang aneh. bukan kita yang ini, yang selalu sok sibuk dan sama-sama egois. aku kangen kita yang selalu bilang aku-takut-kehilangan-kamu dengan tatapan kita masing-masing. bukan tatapan dingin yang tidak ada artinya. sekarang aku tidak tahu kamu di mana, sedang apa, ingat aku atau tidak. aku bahkan tidak tahu siapa kamu sekarang.
maaf ya. aku tahu kamu marah. kamu juga bingung. tapi aku lebih bingung lagi.
sedih? iya aku tahu. atau setidaknya aku berharap begitu.

oh iya, aku pergi minggu depan. aku cuma berharap bisa pamitan padamu.

Thursday, August 8, 2013

Sepenggal Kisahku bersama Tuan Putri

Aku tidak ingat bagaimana bisa sampai di sini. Seorang pangeran menukarku dengan segepok uang. Ia kemudian membawaku pulang. Malam hari, larut malam, ia masih terjaga. Ia duduk di hadapanku, menatap mataku dalam-dalam. Tatapannya nelangsa dan putus asa. Kemudian pelan, ia berpesan untuk menjaga Tuan Putri. Ia takkan lagi ada di sana untuk menjaganya. Sorot matanya memelas, memohon kesanggupanku. Sayangnya aku tak mengerti.

Besoknya pangeran membawaku keluar dari istana. Ia kemudian memperkenalkanku pada seorang gadis cilik. Wajahnya yang segar dan ceria makin berseri tampaknya. Aku sungguh senang ia menyukaiku. Sepersekian detik kutangkap sedikit kedewasaan dari sinar matanya. Salah, ia adalah seorang wanita muda. Sang Tuan Putri.

Kulihat pangeran mengantarku dengan pandangan matanya. Kurasakan ia tak hanya menitipkan amanat di genggamanku. Hatinya pun ikut serta.

Tatapan pertamaku telah menegaskan pengabdianku. Aku pulang bersama Tuan Putri ke istananya. Ia mengajakku ke ruangannya dan berbicara denganku sepanjang malam. Aku menemaninya terus, terus, dan terus hingga ia kelelahan dan memutuskan untuk pergi tidur. Aku tidak. Kuucapkan selamat tidur padanya, kuantarkan ia dengan senyuman manis. Aku tetap berjaga di sudut kamarnya. Terjaga, berjanji tak akan lengah sedikitpun.

Sebuah bayangan gelap muncul dari kolong tempat tidur Tuan Putri. Aku mencabut pedangku antisipatif. Aku mengendap-endap mendekatinya. Kuacungkan pedang perakku ke arah bayangan hitam itu. Kemudian aku bertempur semalam suntuk. Bayangan hitam itu muncul terus-menerus, tak henti-henti. Hilang satu, muncul yang lain. Aku bertempur dalam diam dan tanpa suara. Sesekali kulirik Tuan Putri, memastikan ia tetap tertidur nyenyak dan tak terganggu sedikitpun. Janjiku, jiwaku adalah pengorbananku untuk Tuan Putri. Aku terus bertempur tanpa kenal lelah ataupun mengingat waktu, hingga Tuan Mentari menampakkan wujud keagungannya, hingga bias-bias cahaya mengintip dari balik tirai jendela, bayangan-bayangan hitam itu lenyap.

Tuan Putri membuka kelopak matanya. Wajahnya kemerahan diterpa sinar pagi. Ia menanyakan kabarku. Aku hanya menyunggingkan senyum terbaikku, senyum yang hanya dimiliki oleh Tuan Putri. Aku baik-baik saja.

Siang ini Tuan Putri membawaku bermain di taman. Menghirup udara segar, sangat baik untuknya. Aku memandangnya dengan memuja. Kaumku, pengawal, memang selalu seperti ini. Sumpah setia sampai mati pada majikan kami, pada kewajiban kami.

Di kejauhan kulihat serombongan laki-laki. Auranya buruk. Mereka memandang ke arah Tuan Putri. Firasatku bilang mereka bukan orang baik-baik. Maka ketika Tuan Putri sedang memandang jauh ke tengah danau, menerawang entah apa, aku menatap mereka. Awalnya datar, lama-lama dengan tatapan marah. Mereka sekonyong-konyong menghentikan langkah. Tidak jadi mendekat, mereka mundur teratur. Melirikku takut-takut. Hah, itulah jika berani berniat mengganggu Tuan Putri-ku.

Suatu malam, Tuan Putri menangis tak henti-henti. Ia memelukku erat-erat, seperti tak akan melepaskanku. Tubuhnya gemetar ketakutan. Aku tidak tahu apa yang mengganggu hatinya. Aku bersumpah siapapun yang menyakiti hatinya akan menghadapi aku. Dari isakannya, aku tahu dia merasa sangat kehilangan. Pelukan eratnya, ia takut kehilangan lagi. Andai ia tahu betapa aku tak akan meninggalkannya, sedetikpun.
Besoknya, besoknya, dan besoknya, hingga beberapa minggu ia masih tidak berubah. Andai ia tahu betapa hancurnya aku melihatnya kehilangan sinarnya. Aku berusaha meringankan bebannya, atas nama sumpahku, aku akan menjaganya siang dan malam, serta akan menemaninya tanpa henti. Ia selalu menangis di pelukanku. Aku tidak peduli tubuhku basah kuyup karena air mata, keringat, dan ingusnya. Ia menjerit, meraung, bahkan memarahiku. Ia memukuliku emosi. Aku tahu, sungguh berat yang ia rasakan. Suatu waktu, pada satu malam, yang sangat dingin, ia memandangku dengan tatapan kosong. Akhirnya ia bicara, setelah berminggu-minggu hanya menangis tanpa kejelasan. Ia cerita padaku tentang semua masalahnya. Mulanya nada suaranya datar. Lama kelamaan ia mulai terisak. Ia lalu terdiam dan mengatur nafasnya. Aku mengulurkan tanganku, meraih pipinya, dan menghapus air matanya. Beberapa saat kemudian ia lalu bercerita lagi, sepanjang malam, sampai ia lelah, dan tiba-tiba jatuh tertidur. Aku menjaganya sepanjang malam, mengelap air matanya yang kemudian mengering, mengelap keringatnya yang membasahi wajah manisnya.
Besoknya Tuan Putri terbangun dengan mata bengkak, seperti malam-malam sebelumnya. Namun tatapan matanya beda. Kulihat kelegaan di sana. Aku memandangnya sambil tersenyum. Ia balik menatap mata bulatku dalam-dalam. Dalam sekali, sampai aku takut ia dapat membaca apa yang sedang aku pikirkan. Perlahan seuntai senyum terukir di wajahnya. Aku terkesiap, menyadari betapa aku merindukan senyum itu. Tuan Putri kemudian memelukku erat-erat, memelukku dengan sayang, serta menciumi pipiku.
"Terima kasih banyak," katanya lirih, tapi aku tahu ada nada kelegaan di sana.
Andai aku bisa mengungkapkan betapa senangnya aku berada di sisinya, menjadi kesayangannya, menjadi satu-satunya yang mengetahui semua masalahnya. menjadi satu-satunya kepercayaannya, menjadi yang pertama ia cari saat ia sedih maupun senang. Tuan Putri menyayangiku, aku tahu jelas, tapi yang pasti, itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan cintaku padanya.

Atas nama janjiku, Tuan Putri, kuulangi untuk yang kesekian kali, aku bersumpah menjagamu siang dan malam, menemanimu setiap saat, tanpa ingat waktu dan tanpa kenal lelah, mengorbankan jiwaku hanya untukmu, serta menyayangimu lebih dari aku menyayangi diriku sendiri, aku, seorang pengawal.



Oh iya, kita belum berkenalan. Namaku Teddy Brown si Beruang.

Saturday, August 3, 2013

Terakhir

Rasanya indah sekali dulu, ketika betuknya hanya angan, seiring dengan munculnya semangat untuk menggapainya. Pada saat terwujud, tidak hanya indah, malahan terasa seperti dunia mencintaimu.

Sedetik dua detik. Perasaan lain merayap. Benar indahkah? Atau perlahan berubah menjadi mimpi buruk?

Aku tahu kamu tak mau pergi. Tapi tinggal bukanlah jawaban yang baik. Sanggupkah?

Jangan manja. Hidup itu dinamis. Kamu selalu bilang "move on!" ke temanmu yang sedang sedih. Sekarang rasakan sendiri 'move on' manismu itu.

Hei, lihat wajah burukmu di cermin. Dunia merindukan seuntai senyummu, senyum yang elok itu. Kembangkanlah, manis, walau hanya sedetik dua detik.

Berlumur perih, berlinangan tangis, tak sembuh bahkan oleh berpuluh pelukan dan rayuan. Terbayang rindu yang begitu mengerikan. Maka nikmatilah, manis, nikmatilah sedetik dua detik terakhirmu.

Buka tanganmu, lepaskan cengkeraman pada dunia. Biarkan ia pergi, biarkan menjauh. Memang semuanya terlalu indah buatmu, sampai kapanpun tak akan rela melepasnya.

Kenangan tak pernah berpaling darimu. Ia hanya diam di sudut, memberimu kesempatan untuk melanjutkan hidup. Pada saatnya nanti, ia akan kembali.

Balikkan badanmu, tutup matamu bila kau rasakan ada sesuatu yang mengalir dari sana. Teguhkan kakimu, langkahkan perlahan. Perlahan.

Memang, pergi adalah hal indah paling menyakitkan yang pernah ada.