Tuesday, October 22, 2013

Menggugat Pers dan Negara (Resume) #BridgingCourse

Oleh: Amir Effendi Siregar

Gugatan tentang profesionalisme dan independensi pers tentang kepemilikan kini sering dilayangkan oleh para petinggi Negara. Namun, banyak pihak yang juga menujukan gugatan tersebut kepada negara sebagai regulator utama. Jumlah media di Indonesia kurang banyak dan terlalu terkonsentrasi pada satu orang atau badan pemilik, serta hanya terpusat di provinsi-provinsi besar. Media belum tersebar secara merata di Indonesia, karena kenyataannya masih banyak wilayah yang belum terjangkau media. Media cetak baru beredar pesat di daerah urban. Total sirkulasi dan jumlah eksemplar masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk, bila mengikuti standar UNESCO. Survei membuktikan bahwa internet baru menjangkau hampir 25% dari keseluruhan penduduk, sementara televisi swasta 78%. Selain itu, televisi swasta lebih diorientasikan untuk penduduk di kota, yang isinya seragam. Dari sekitar dua ratus atau tiga ratus stasiun televisi dikuasai oleh 10 stasiun televisi yang berpusat di Jakarta.
Regulasi media di Negara demokratis dibagi dua. Pertama, media yang tidak menggunakan wilayah publik atau frekuensi umum. Media jenis ini memiliki aturan sendiri yang diregulasi oleh organisasi pers masing-masing. Kedua, media yang memakai wilayah publik atau frekuensi seperti radio dan televisi. Media jenis ini memiliki peraturan yang lebih ketat, seperti izin, isi, kepemilikan, dan kecenderungan (harus netral dan tidak berpihak). Namun yang menjadi masalah, kini kenyataan stasiun televisi isinya seragam dan pemusatan kepemilikan yang berlebihan.
Pengatur utama dunia penyiaran adalah KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), Kementerian Kominfo, dan Bapepam-LK. KPI sudah banyak memberi sanksi tentang konten, namun kurang tegas soal independensi dan ketidakcenderungan yang terkandung di dalam isi. Maka dari itu, untuk kasus kepemilikan, Kementerian Kominfo harusnya lebih tegas sebagai regulator utama.
Peraturan pemerintah menyatakan bahwa seseorang atau badan hukum secara langsung ataupun tidak langsung hanya boleh memiliki paling banyak dua stasiun televisi di dua provinsi berbeda. Kenyataannya, seseorang bisa menguasai lebih dari satu stasiun televisi, bahkan tiga di satu provinsi.

Kesimpulannya, pers Indonesia serta regulator media harus lebih meningkatkan mutu. Bila tidak, kita harus menelan kenyataan pahit bahwa kapitalisme telah menguasai segalanya, tak ada lagi bentuk independensi dan demokrasi.

No comments:

Post a Comment