Sunday, May 18, 2014

Solo, Saksi Bisu Perkembangan Komunikasi di Indonesia

Study tour, saya kira hanya ada di bangku TK hingga SMA. Ternyata saya juga merasakannya di bangku kuliah. Hanya saja namanya berbeda, lebih keren dan terdengar intelek: field trip. Trip satu hari ke kota tetangga ini hanya dialami di semester kedua Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, sebagai pemenuhan mata kuliah Sejarah Sosial dan Media. Tujuan kami adalah ke dua tempat menarik di kota Solo, Jawa Tengah, yaitu studio rekaman Lokananta dan Monumen Pers Nasional.

Mbak Dosen Mutia meminta kami semua datang lebih awal, yaitu pukul enam pagi. Angka yang begitu horor bagi saya, karena hari sebelumnya saya baru saja pulang dari travelling akhir pekan ke Bandung, Jawa Barat. Masih dalam tahap pemulihan tenaga dan finansial, saya harus menyeret paksa tubuh saya ke kampus pagi-pagi buta. Menunggu beberapa jam di San Siro, sekitar pukul delapan baru kami naik ke atas bus dan memulai  perjalanan kami. Bus yang kami tumpangi ternyata bus yang bagus dan nyaman, senang rasanya.
ruang rekaman
Sekitar pukul setengah sepuluh, kami tiba di studio rekaman Lokananta. Dari luar tempat ini terlihat usang dan gersang, membuat saya menerka-nerka hal apakah yang membuat tempat ini menjadi destinasi field trip tiap tahun. Kami dibawa ke suatu ruangan luas dengan dinding dan plafon yang begitu unik. Ternyata tempat itu juga difungsikan untuk rekaman dan dibuat sedemikian rupa berdasarkan sistem suara. Beberapa pihak lokananta juga ada di sana, memberi sambutan dan hal-hal pengantar mengenai tempat
tersebut. Beberapa hal kami bahas, seperti sejarah, alasan didirikannya Lokananta, serta perkembangannya.

Hal menarik yang dapat saya simpulkan adalah bahwa Lokananta adalah studio rekaman pertama di Indonesia. Lokananta memiliki teknologi yang canggih dari dulu hingga sekarang. Pada mulanya, Lokananta didirikan dengan visi dan misi budaya, yaitu mempersatukan kebudayaan-kebudayaan tiap daerah di Indonesia, terutama lagu-lagu daerah. Musisi-musisi budaya juga banyak berkembang berkat keberadaan Lokananta, seperti pesinden legendaris, Waljinah dan Gesang, pencipta lagu Bengawan Solo yang terkenal sampai ke mancanegara. Seiring berjalannya waktu, musisi-musisi modern juga banyak yang mengadakan rekaman di Lokananta, sebut saja Glenn Fredly, Shaggydog, dan Efek Rumah Kaca.

pemutar piringan hitam

Kemudian kami berkeliling Lokananta, melihat-lihat ruangan-ruangan yang menyimpan rapi saksi bisu perkembangan musik Indonesia. Kami mengunjungi ruangan penyimpanan piringan hitam. Ruangan yang kami masuki tidak terbilang luas, serta dipenuhi rak-rak yang berisi piringan-piringan hitam. Jujur, pada saat itulah pertama kali saya melihat piringan hitam sungguhan, padahal sebelum-sebelumnya hanya melihat di film kartun dan film-film tua. Tak hanya itu, saya menemukan rekaman Waljinah, Rasa Sayange, serta yang paling menakjubkan adalah rekaman pertama lagu Indonesia Raya (tertulis Indonesia Raja di sampulnya).

Selain itu, kami juga mengunjungi ruangan yang menyerupai museum, karena berisi barang-barang tua dan sudah tidak berfungsi lagi, seperti alat pengganda kaset, pemutar piringan hitam, serta beberapa alat lain yang tidak berhasil saya identifikasi kegunaannya. Terakhir kami mengunjungi ruangan re-mastering, sebuah ruangan yang nyaman dan berfungsi untuk merekam ulang suara dari sumber-sumber konvensional seperti piringan hitam dan pita ke dalam bentuk digital. Kami diberi keleluasaan untuk masuk dan ‘mengacak-acak’ ruangan ini, padahal ruangan ini biasanya terlarang selain untuk staf. Di sana kami diperdengarkan lagu Glenn Fredly, dengan suara yang begitu jernih dan halus. Ruang re-mastering tersambung dengan ruangan penyimpanan yang menyimpan rapi beratus-ratus gulungan pita, dan salah satunya adalah rekaman pidato proklamasi Soekarno.
kojel sendiri udah biasa :')

Setelah puas berkeliling, kami berfoto di depan pintu utama Lokananta sambil menikmati serabi Solo yang begitu enak. Jujur saja, saya baru kali ini menikmati serabi yang sedemikian enak. Kami kemudian melanjutkan perjalanan dan berhenti di Restoran Taman Sari untuk istirahat, salat, dan makan siang.

Destinasi kedua, Monumen Pers Nasional. Saya sangat antusias datang ke gedung ini karena saya menaruh minat di bidang jurnalistik. Sebuah gedung besar dengan ornamen candi di atasnya, dan dihiasi naga dengan posisi terlentang di sisi-sisi tangga, terkesan artistik. Pertama, kami disambut dengan video profil Monumen Pers Nasional, sebuah video yang menjelaskan mengenai sejarah, perkembangan, dan kegunaan bangunan ini. Kami masing-masing juga mendapatkan booklet yang berisi keterangan mengenai barang-barang bersejarah yang berhubungan dengan jurnalistik.

Gedung Monumen Pers Nasional terdiri dari lima lantai, dan masing-masing lantai berisi ruangan-ruangan tertentu. Gedung ini menyimpan arsip-arsip media cetak, terutama surat kabar dan majalah. Monumen Pers Nasional memiliki surat kabar-surat kabar tua yang sudah menguning bahkan edisi-edisi pertama dari berbagai surat kabar. Koleksi surat kabar tertua milik Monumen Pers Nasional adalah surat kabar Panorama, terbit pada 23 Mei 1917, hampir satu abad yang lalu. Monumen Pers Nasional juga menyimpan edisi-edisi bersejarah surat kabar, antara lain surat kabar yang memberitakan tentang meninggalnya mantan presiden Soekarno, berita peristiwa proklamasi Indonesia, bahkan surat kabar yang merupakan propaganda Jepang di Indonesia. Surat-surat yang fisiknya sudah tua ini difoto dengan resolusi tinggi dan bisa dibaca secara digital, karena saking tuanya sudah tidak aman lagi jika dipamerkan pada umum secara fisik.

Monumen Pers Nasional juga memiliki enam diorama yang menggambarkan perkembangan media dari masa ke masa. Tak hanya itu, ada juga delapan patung dada yang berada di kanan dan kiri ruang utama, merupakan patung dari tokoh-tokoh perintis pers di Indonesia.

Selama ini saya selalu menebak-nebak, apa yang harus saya lakukan dan ke mana saya harus pergi jika saya ingin mengadakan penelitian, katakanlah membuat skripsi, yang mengharuskan saya mencari info di surat kabar hingga beberapa tahun ke belakang. Perpustakaan biasa hanya menyimpan surat kabar dalam jangka waktu tiga bulan, atau paling lama satu tahun. Maka dari itu saya gembira dan tidak menyesal datang ke sini, karena saya mengetahui bahwa pengunjung bisa dengan bebas meminjam surat kabar modern edisi lama, seperti lima atau sepuluh tahun yang lalu. Monumen Pers Nasional sangat memfasilitasi hal ini, dan bagi saya merupakan tempat yang tepat.


Satu hari perjalanan ke Solo hari itu begitu luar biasa bagi saya. Saya selalu suka pelajaran yang diadakan di luar kelas, karena pasti mengasyikkan dan tidak membosankan. Terlebih jika diadakan gratis dan berlimpah makanan seperti ini.

No comments:

Post a Comment