Monday, September 15, 2014

For The First Time

Gue merasa gue punya masalah. Masalah sepele yang entah kenapa gue rasa besar.

Somehow gue merasa keputusan gue untuk masuk jurusan Komunikasi itu bener-bener tepat. Gue harus belajar banyak karena sepertinya gue bukan seorang komunikator yang baik. Gue merasa gue bisa menempatkan diri dengan objektif. Gue bisa berempati sama orang lain. Gue bisa mengerti permasalahan orang lain dengan cara berhasil menempatkan perasaan di posisi dia. Gue sering nerima respon kayak “lo ngerti gue banget” dan “yang lo bilang bener juga sih” atau semacamnya.

Tapi gue nggak menemukan orang yang bisa begitu sama gue. Kadang gue ngerasa lingkungan gue begitu kasar. Entah apa konsep ‘rude’ dalam bahasa Indonesia, tapi ‘rude’ itu sendiri lebih mewakilkan apa yang gue rasakan dibanding ‘kasar’. Ya, gue hampir nggak menemukan orang yang bisa menempatkan diri di sudut pandang gue. Entah orang orang di sekitar gue nggak ada yang berusaha, atau memang sudut pandang gue sulit untuk disibak sama orang lain.

Atau mungkin karena masalah gue komunikator yang buruk itu tadi, jadi orang lain nggak bisa dengan presisi menempatkan diri mereka di posisi gue? Bahkan orang terdekat gue, dia nggak pernah bisa ngerti kalo gue marah atau ngerasa nggak nyaman. Dia nggak pernah bisa ngerti makna marah dan diamnya gue.

“...and we don’t know how, how we got into this mad situation, only doing things out of frustration. Trying to make it work, but, man, these times are hard.”

Dan gue masih di sini, mikirin hubungan gue yang mendadak nggak seindah dulu, muter-muter lagu For The First Timenya The Script berulang-ulang, sambil menimbang-nimbang apakah tulisan amburadul ini akan gue masukkin blog atau enggak. Dari beberapa jam yang lalu gue merangkai kata-kata yang tepat, supaya ada orang yang bisa ngerti apa yang gue maksud dengan tepat, terutama dia.

Padahal udah berbulan-bulan gue merasakan kalo dia itu orang yang tepat, istilahnya kayak ‘he is the one’. Tapi karena satu masalah yang berakar dari kebiasaannya dia (yang notabene sebenernya gue harusnya udah bisa maklumi) gue mulai ragu sama apa yang gue yakini ini. Sejujurnya bukan cuma sekali dua kali gue ngebayangin what if ‘gue menikah sekarang’ things (well randomly). Tadinya gue mikir 70-80% bahwa gue pasti bisa, toh gue udah dewasa.

Tapi ketika ada masalah yang sekecil kerikil aja tiba-tiba gue goyah.

“...and we don’t know how, how we got into this mess, is it God’s test? Someone help us ‘cause we’re doing our best.”

Gue tau gue kuat, gue bisa bertahan. Nggak sekali dua kali gue berpikir untuk menyerah (man, lo kira ngejalanin ini nggak berat?). Tapi gue selalu ingat sama masa lalu yang pernah sama-sama kita alami. Kita lewati bersama, yang kemudian bikin kita berdua kembali lagi seperti ini. Itu kenangan yang bener bener pahit, walaupun kalo hal itu nggak terjadi, gue nggak yakin ‘kita’ masih ada. Tapi tetep aja, gue nggak mau kembali lagi seperti itu, melewati masa-masa suram hanya karena gue melakukan sesuatu dengan gegabah dan tanpa pertimbangan yang matang. Hasilnya hanya penyesalan yang nggak selesai-selesai.

Untungnya semesta masih baik sama kita, karena kemudian kita dipertemukan kembali entah bagaimana ceritanya, sehingga kita merasa saling takut kehilangan, karena kita sama-sama pernah mengalaminya. What a bitter sweet.

Nope nope masalah ini nggak ada hubungannya dengan orang lain, yang sedemikian rupa bisa mempengaruhi suasana hati gue sesaat maupun beberapa saat. Orang lain bahkan nggak ada mampir di pikiran gue setelah dia hilang dari pandangan. Out of sight, out of mind. Well, i hope so.

Tapi beneran deh pikiran gue bener-bener dipenuhi cuma sama dia, which is good. Sayangnya penuhnya bukan karena hal-hal baik tentang dia, which is not good.

“We’re smiling but we’re close to tears, even after all these years. We just now got the feeling that we’re meeting for the first time.”

Cukup sarkastik dan gue merasa tersindir, walaupun nggak tepat. Nobody is smiling, and i am the only person that is close to tears, well so fucking close. Pernah nggak sih lo begitu berat berpikir tentang hubungan lo dengan dia, tapi kemudian lo berprasangka jangan-jangan gue dong yang mikirin, gue doang yang mencemaskan, gue doang yang capek...dia enggak?

Mengenai apa yang gue rasakan sekarang, enggak seekstrim perasaan waktu kami pertama bertemu, sih. Gue masih sayang kok. So fuckin madly deeply in love like before. Well, not like really before karena, nah di sini anehnya, gue merasa ada yang beda atas apa yang gue rasakan. Love is usually good, but now it feels like pain for keeping it inside here. And that big amount of love feels like...........tons or more of pain.

Kesimpulan
Ini hanya masa-masa sulit biasa. Sebentar lagi ini akan berlalu, persis seperti sebelum-sebelumnya. Selama kami masih bertahan dan tidak menyerah, which is exactly what are we going to do.
“Oh, these times are hard,  yeah, they’re making us crazy. Don’t give up on me, baby.”


No comments:

Post a Comment