Friday, December 1, 2017

Phoncial Anxiety

Aku menjauhi ponselku. Dadaku berdegup agak lebih kencang ketika ponselku bunyi. Siapa yang menghubungi, dan mau apa?

Jadi maaf buat kalian, kalau aku balas lama – atau tidak balas. Aku lebih memilih bicara dengan orang di depan mukaku ketimbang buka ponsel dan bicara dengan orang yang mungkin tidak aku inginkan.


Pelari

Aku mungkin bisa beri tahu alasanku menyerah. Tidak ada yang tahu juga bahwa aku punya sejuta alasan untuk ini, dan aku bisa berikan alasan yang berbeda ke tiap orang.

Dan ini, aku beri satu lagi di sini:

Aku merasa buruk mengerjakan hal-hal ini. Semua yang kurasakan di luar ekspektasiku. Aku tidak punya kendali atas apapun, aku tidak bisa bergerak dengan bebas.

Rasanya seperti aku dikurung di sangkar kawat dan sayapku dipotong, kemudian mereka memintaku untuk terbang. Aku sudah mencoba sebisaku, sekuatku, tapi aku mentok di atap sangkar. Semua orang tetap menyemangati dan bilang “terbangmu bagus kok, kamu pasti bisa terbang lebih baik lagi.” Tapi aku sadar, aku tidak terbang. Mungkin aku mentok di atap sangkar, tapi karena melompat. Melompat bukan terbang. Melompat hanya bisa sampai sana, terus berhenti.

Aku menyerah untuk terbang.

Aku bilang ke orang lain: aku pelari. Aku selama ini pelari. Walau sampai kram kakiku dan jatuh terguling tubuhku, tapi aku bisa terus berlari.

Akhirnya mereka bilang “ya, kamu pelari. Sekarang keluar dari sangkar ini, dan berlarilah.”

Aku keluar sangkar dengan dagu terangkat tinggi, namun tidak ada yang melihat hatiku mencelos. Satu kebanggaan dalam diriku runtuh. Kukira aku bisa melakukan apa saja.

Aku bisa melakukan apa saja. Aku sepertinya bisa terbang. Aku punya sayap  walaupun sayap itu direnggut. Aku memang pelari, tapi apa itu berarti aku tidak bisa terbang? Atau mungkin aku hanya tidak berusaha keras belajar terbang?

Hi, how are you? I am fine, thanks.

Aku tidak baik-baik saja. Itu jawabannya, kalau ada yang bertanya.
Mungkin aku pantasnya jadi pemain film, mungkin karena aku pintar berpura-pura dan membuat orang mengira persis seperti apa yang aku inginkan. Aku dramatis, dan sudah diakui sekitar empat dari lima orang, atau mungkin lebih. Yassss, I love drama.

Banyak hal yang terjadi belakangan ini, membuat aku berpikir dua kali bagian mana yang mesti aku ceritakan, dan bagian mana yang tidak; dan kepada siapa aku mesti cerita. Aku punya banyak teman dekat, tapi – tik tok – waktu lama-lama melaporkan siapa saja yang bisa tidak usah dipercaya.

Kupikir aku depresi, tapi mungkin kata itu terlalu kuat. Jadi tidak – aku tidak depresi. Mungkin sebagian temanku iya, tanpa mereka sadari. Aku beruntung nasibku masih agak sedikit cukup lebih lumayan baik dibanding mereka. Tapi aku bukannya depresi. Ini cuma – hmm, bagaimana istilahnya ya – shock, terkejut, kaget, tidak sesuai ekspektasi.

Aku tertawa dan bercanda dengan orang lain tiap hari, aku hang out hampir setiap hari, bahkan sampai hampir pagi kalau akhir pekan. Aku punya banyak orang yang bisa aku telepon begitu saja dan rela dengar keluhanku berjam-jam. Aku bahkan punya uang yang (rasanya lebih dari) cukup untuk beli hal-hal yang bisa membuat aku merasa baikan.

Tapi terus kenapa ada sesuatu yang masih terasa salah?

Jika seseorang bertanya “bagaimana cara mengatasi depresi” padaku, aku mungkin akan bilang “just literally go fuuuccckkk yourself.” Yep.

No. No, ternyata aku bilang kata-kata yang menghibur dan menyenangkan, seperti “take it easy,” “liburan,” “hang out,” “main.”

Orang itu bertanya pada orang yang mengatasi rasa stresnya dengan menyerah. 

Dia berharap aku bilang apa?





Dude, I gave up. I quit. I tell you once more: I quit.

Monday, October 12, 2015

Fanwar: Trivialisasi Ruang Publik

Memasuki era masyarakat global, di mana internet sudah menjadi barang wajib, media-media sosial pun tak luput menjadi tempat untuk berdiskusi dan bertukar informasi. Lebih baiknya lagi, partisipan bisa berasal dari manapun, tanpa terbatas ruang dan jarak. Tak hanya bicara setingkat balai desa atau balai kota yang mengumpulkan penduduk dari satu kota, media sosial bisa mempertemukan masyarakat dari belahan dunia yang berbeda. Pertemuyan virtual ini nampak begitu berharga untuk kemudian para partisipan saling bertukar informasi dan pemahaman atas suatu isu dari sudut pandang budaya yang berbeda.

Menindaklanjuti hal ini, pengusaha media sosial pun berlomba untuk membuat ruang publik yang lebih kondusif untuk para penggunanya saling berdiskusi. Beberapa media sosial bahkan melengkapi media mereka dengan fitur yang dikhususkan untuk berkumpul dan berdiskusi. Hal ini tentu saja merupakan perbaikan yang positif, di mana pengelola media memiliki sensitivitas yang tinggi atas kebutuhan publik, kemudian mewujudkannya dalam bentuk pembaharuan yang bertahap dan berkelanjutan di media mereka masing-masing.

Demikian juga dengan media sosial Facebook, di mana kita mengenal adanya fitur group, yaitu ruang tersendiri di mana para pengguna bisa mengumpulkan anggota grup dan bebas membicarakan hal yang berhubungan dengan dunia mereka. Grup ini merupakan ruang publik yang bisa digunakan untuk menghimpun opini dan memberi pemahaman baru dengan bertukar pikiran dengan orang lain. Kita bisa merasakan sendiri fitur ini memiliki kegunaan yang besar, karena anggota kelompok memiliki privasi mereka dalam membahas internal kelompok. Anggota yang dikumpulkan pun beragam, mulai dari lembaga formal virtual, kelompok pertemanan, kelompok semi formal, bahkan tak jarang grup digunakan untuk berdiskusi mengenai sebuah isu, tanpa anggotanya saling kenal dengan anggota lainnya.

Tapi makin luas lingkupnya, makin beragam pula penggunaannya. Tak jarang juga penggunaan grup di media sosial mengalami penurunan dari segi kualitas, misalnya seperti contoh di bawah ini:





Sumber utama foto ini sebenarnya tidak jelas dan tidak ditemui aslinya. Namun gambar ini telah ditemukan berulang kali dipost di beberapa akun media sosial, terutama media sosial yang berhubungan dengan fanatic domain tertentu. Dari judul grup sudah terlihat, “DEBAT Beliebers VS Alicious (Official Group)” mengandung dua nama fanatic domain besar nasional dan internasional. Beliebers merupakan nama dari fanatic domain penyanyi asal Kanada, Justin Bieber, sementara Alicious merupakan fanatic domain aktor dan pemain sinetron Indonesia, Aliando Syarief.

Walaupun miris, namun sekilas grup ini terlihat begitu menghibur jika dilihat dari sudut pandang orang di luar fanatic domain. Entah apa isi yang dibahas di dalam grup tersebut, entah apa yang diperdebatkan oleh para penggemar Justin Bieber dan Aliando Syarief, yang pada dasarnya memiliki kelas yang berbeda dan bahkan jenis dunia hiburan yang berbeda. Mereka tidak saling mengenal, apalagi memiliki masalah satu sama lain yang pantas diperdebatkan. Hal itulah yang membuat kita bertanya-tanya apakah gerangan yang menjadi konten pembahasan di dalamnya.

Anehnya lagi, konten yang kebetulan tersebar dari grup tersebut malahan yang tidak berhubungan sama sekali, baik dengan Justin Bieber maupun Aliando Syarief. Pesan di dalam grup juga melibatkan dua fanatic domain besar, yang lagi-lagi berada di kelas yang berbeda, yaitu Directioner, fanatic domain  dari boyband asal Inggris yang merupakan salah satu fanatic domain terbesar di dunia, serta Comate, fanatic domain dari boyband remaja tanggung asal Indonesia, Cowboy Junior. Pesan dari gambar tersebut sendiri menunjukkan sindiran tajam seorang Comate pada Directioner. Ia menuduh One Direction meniru apa yang dilakukan oleh Cowboy Junior. Padahal logikanya, kedua grup penyanyi ini berada di liga yang jauh berbeda, dan hal yang dituduhkan pun tidak masuk akal, seperti keluar dari grup dianggap plagiat, memiliki Twitter, memiliki mobil, dan bahkan kesamaan status pun dianggap plagiat. Entah harus tertawa atau menangis melihatnya.

Inilah yang menjadi salah satu masalah dalam ruang publik, yaitu trivialisasi, di mana kualitas isu yang dibahas di ruang publik mengalami penurunan.  Sekilas tak ada yang salah dengan grup ini. Asumsi orang akan mengarah ke sekelompok anak-anak kecil hingga remaja tanggung yang merupakan penggemar dari tokoh-tokoh tersebut. Padahal sejatinya, sayang sekali jika ruang publik serta partisipasi masyarakat, terutama mereka yang masih muda, difokuskan pada isu tidak penting seperti ini. Terutama ketika sebenarnya tidak ada masalah yang sungguhan terjadi antara satu kelompok dengan kelompok lain, namun kemudian dengan adanya grup diskusi malah timbul sentimen antargrup dan mendorong munculnya fanwar atau perang antar fanatic domain yang dilatarbelakangi alasan tidak logis.

Hal ini diperparah dengan kepedulian serta pemahaman media para orang tua yang turut mengalami penurunan. Anak-anak kecil kadang sudah diberikan pegangan gawai di usia yang begitu muda, padahal mereka belum memiliki pondasi pemahaman penggunaan media yang kuat. Mereka kemudian belajar bermedia dan berinteraksi dengan orang lain di dunia virtual secara otodidak, di mana sumber yang mereka imitasi belum tentu benar. Patut disayangkan, padahal mungkin jika sebagian besar orang tua memliki peran dalam pelajaran bermedia anak-anaknya, mungkin hal ini tidak akan terjadi hingga berlarut-larut. Orang tua memang bukan satu-satunya faktor, namun tetap saja keluarga merupakan sumber pendidikan utama yang patut dipersalahkan pertama kali atas kelakuan anak-anaknya.

gambar:
Line One Direction For Us. 2015. Line Official. (tanpa tautan).

Monday, June 8, 2015

ke mana aja loe

seperti temen kalo butuh, gue baru buka lagi blog ini setelah berbulan bulan dibiarkan terbengkalai dengan tujuan yang kurang bermanfaat (bagi siapapun...). memang udah banyak yang nanyain kenapa gue ga update blog lagi, cuma ya, begini deh:
sesuka sukanya lo sama suatu hal, kalo lo dikasih itu terus ya demek juga. atau kalo bahasa ekonominya, mungkin, tingkat kepuasannya akan menurun.

jadi begitulah, kadang gue bosen juga nulis, apalagi nulisnya yang berat-berat. kadang gue mikir apa iya biar blog ini ngga sepi itu tugas-tugas gue dimasukkin ke sini? (siapa juga yang mau baca anw)

bonus tugas gue mata kuliah reportase kemarin, dari 3 berita baru 2 yang dipost. beritanya juga ngga menarik menarim banget tapi proses di balik berita itu...alamakjan bikin gue rasanya pengen cepet cepet jadi istri pengusaha.

http://liputan.tersapa.com/pengojek-yogyakarta-tak-takut-bersaing-dengan-ojek-urban/

http://liputan.tersapa.com/upaya-pengaturan-ojek-yogyakarta/